FaktualNews.co

Klarifikasi Aliansi Jember Menggugat

7 Orang yang Ditangkap Polisi Terkait Kerusuhan Bukan Bagian Aksi Unras

Peristiwa     Dibaca : 602 kali Penulis:
7 Orang yang Ditangkap Polisi Terkait Kerusuhan Bukan Bagian Aksi Unras
FaktualNews.co/Istimewa
Klarifikasi dari AJM terkait kericuhan saat Unras Tolak UU Cipta Kerja 22 Oktober 2020 lalu.

JEMBER, FaktualNews.co – Koordinator aksi, bersama dengan sejumlah perwakilan dari Aliansi Jember Menggugat (AJM) melakukan klarifiksi perihal adanya kericuhan saat aksi unjuk rasa (unras), Kamis (22/10/2020) kemarin. AJM menegaskan, unras yang dilakukannya itu sebagai aksi damai yang membawa pesan soal penolakan UU Cipta Kerja yang digelar di Bundaran DPRD Jember.

Dalam pertemuan klarifikasi di sebuah cafe di Jember itu, AJM juga menyampaikan bahwa pengamanan terhadap dua mahasiswa pra aksi dan 5 perusuh saat terjadinya kericuhan sekitar pukul 16.30 WIB, bukan bagian dari mahasiswa yang tergabung dalam AJM.

Korlap aksi dalam penyampaian klarifikasi, Nurul Mahmuda Hidayatulloh menyampaikan, peserta aksi adalah perwakilan dan bagian dari 30 aliansi mahasiswa yang tergabung dalam AJM.

“Yang ditunjukkan dengan adanya penanda yang dipakai pada lengan peserta aksi berupa kain putih yang kami sebut kain mori,” kata Nurul saat giat klarifikasi, Senin (26/10/2020) sore.

Nurul menjelaskan, terkait kronologi dari aksi unras penolakan UU Cipta Kerja yang dilakukan AJM, disepakati dan dari awal adalah bentuk penyampaian aspirasi secara damai.

“Kami juga membenarkan tentang adanya penangkapan dua mahasiswa saat pra acara, dan mereka bukan bagian dari aksi kami. Karena aksi kami belum dimulai saat itu, dan kami masih berkumpul di titik kumpul sekitar double way Unej,” katanya.

Namun kemudian dari klarifikasi yang dilakukan pihaknya ke aparat keamanan, kedua mahasiswa itu sudah dibebaskan polisi.

“Selanjutnya terkait terjadinya kericuhan, diawali dari sekitar pukul 16.00 WIB, alat mixer (untuk pengeras suara) disiram air entah oleh siapa, dan mengakibatkan rusak. Sehingga keputusan diambil adalah sound system lebih baik dimatikan. Agar tidak semakin rusak, juga pertimbangan keselamatan dan kenyamanan bersama,” jelasnya.

Pihaknya juga menyampaikan, terkait bagian keamanan dari peserta aksi, juga sudah berusaha melakukan pendekatan dan tindakan secara persuasif.

“Sebagai pendekatan, dan ini dilakukan, karena kita mengantisipasi terjadinya aksi kebrutalan,” katanya.

Pihaknya juga mengakui jika ada peserta aksi dan disebutnya sebagai oknum, yang tidak menggunakan penanda sebagai bagian dari aksi.

“Sehingga diketahui terjadi aksi provokatif dan membuat onar dan menyuruh melakukan aksi anarkisme. Namun kami memilih agar menenangkan setiap orang yang terpancing emosinya. Tapi saat itu, situasi (panas dan ricuh) semakin memuncak, dengan adanya upaya penangkapan yang dilakukan oleh oknum keamanan. Sehingga terjadi miss koordinasi antara pihak kami dan pihak keamanan,” jelasnya.

Upaya pengamanan inilah, lanjut Nurul, menyebabkan keributan baru. “Sehingga adanya aksi kekacauan dan dorong-dorongan, bahkan hampir terjadi aksi pemukulan,” ungkapnya.

“Untuk kelima orang perusuh yang kini juga diamankan aparat keamanan, kami tegaskan bukan bagian dari kami. Karena mereka pun tidak menggunakan penanda kain mori putih, dan termasuk yang mengancam ke rekan-rekan wartawan yang juga terekam di video itu,” imbuhnya.

Namun demikian, pihaknya bersama perwakilan dari AJM, meminta maaf secara terbuka kepada beberapa pihak atas adanya oknum-oknum yang terlibat dalam demonstrasi.

“Dalam pertemuan ini juga disampaikan, AJM menyampaikan maaf kepada Pemerintah Daerah Jember, DPRD Jember , Masyarakat Jember, dan awak media yang sempat menjadi korban intimidasi dari salah seorang oknum aksi unjuk rasa,” ucapnya.

Anarkisme yang terjadi diakuinya murni dilakukan oleh oknum. Namun Nurul belum bisa memastikan dari manakah unsur oknum tersebut.

“Kami masih terus mendalaminya melalui investigasi internal, untuk mencari tahu asal oknum-oknum tersebut,” pangkasnya.

 

Baca berita menarik lainnya hasil liputan
Editor
Muhammad Sholeh