Peristiwa

Setahun Kasus Dugaan Cabul, Anak Kiai di Jombang Masih Melenggang

SURABAYA, FaktualNews.co – Persis setahun yang lalu, kasus dugaan pencabulan anak kiai di Kabupaten Jombang terhadap seorang mantan santrinya yang masih di bawah umur, menggelinding ke polisi.

Tepatnya tanggal 19 Oktober 2019, NA, korban dugaan pencabulan melaporkan MSA ke Polres Jombang dengan nomor laporan LPB/392/X/RES/1.24/2019/JATIM/RESJBG.

Kendati belasan bulan kasus bergulir, sampai sekarang belum juga ada titik terang. Kasus dugaan cabul yang menyeret anak kiai pondok pesantren ternama di Kabupaten Jombang itu, terkesan mengambang.

Direskrimum Polda Jatim, Kombes Totok Suharyanto mengatakan masih berupaya melengkapi berkas perkara usai dikembalikan (P19) oleh Kejaksaan.

“Masih pemenuhan P19,” ucapnya, kepada FaktualNews.co, Rabu (28/10/2020).

Jika dikomparasikan dengan penanganan kasus Hanny Layantara, pendeta cabul di Surabaya, upaya korps bhayangkara mengungkap skandal kekerasan seksual anak kiai di Jombang ini terbilang lamban.

Kasus Hanny mulai ditangani polisi pada Februari 2020, lebih tiga bulan usai MSA dilaporkan korban. Namun, kurang dari satu bulan Hanny bisa diringkus petugas kepolisian. Sedangkan MSA, sampai sekarang masih berkeliaran menyenangkan badan. Jangankan ditahan, menghadirkan MSA, si tersangka saja kerap menjadi persoalan. Anggota Renakta waktu itu gagal membawa MSA ke Polda Jatim untuk diperiksa, Sabtu (15/2/2020).

Enggan dibilang lamban, Totok mengatakan jika kasus anak kiai cabul sudah tahap P19 ketika dirinya diangkat jadi penggawa di kriminal umum Polda Jatim. Dan saat ini, perwira yang ahli dibidang tindak pidana korupsi itu mengaku tengah bekerja keras melengkapi berkas. “Ini lagi memenuhi itu,” singkatnya.

Lalu kapan berkas perkara kembali diserahkan ke jaksa ? Lagi-lagi jawaban diplomatis didapat. Totok menyebut itu merupakan urusan teknis. “Teknis itu,” timpalnya.

Pendeta Cabul 10 Tahun Penjara, Anak Kiai Masih Bebas

Meski sama pahit, nasib korban Hanny dinilai lebih baik ketimbang NA. Si pendeta cabul telah diganjar 10 tahun penjara oleh hakim Pengadilan Negeri Surabaya. Sementara MSA, perkaranya tak jua dimeja hijaukan, masih berkutat ditangan petugas kepolisian.

Menurut Aliansi Kota Santri Lawan Kekerasan Seksual, organisasi masyarakat pengawal kasus dugaan anak kiai cabul di Jombang. Kelambanan aparat kepolisian menyelesaikan kasus kekerasan santriwati Pondok Pesantren Shiddiqqiyah berpotensi mereviktimisasi korban, terutama bagi perempuan.

Dimana korban acapkali dihadirkan untuk dimintai keterangan dalam proses hukum yang bertele-tele. Selain itu, visum tak cukup sekali juga kerap dilalui untuk kasus tanpa ujung, sehingga tekanan psikis korban makin bertambah.

“Sementara situasi timpang dijalani oleh tersangka yakni terus mendapat perlakuan khusus dengan pemakluman yang cenderung mengistimewakan pelaku dalam prosedur
pemeriksaannya, mulai tahap pemeriksaan di Polres Jombang hingga pasca pelimpahan kasus di Polda Jatim,” terang Ana Abdillah, juru bicara aliansi dikutip dari selebaran yang diberikan ke sejumlah awak media berjudul, Satu Tahun Penanganan Kasus Perkosaan Santriwati di Jombang, Selasa (27/10/2020).

Ana Abdillah menambahkan, pihaknya sangat menyayangkan atas mengambangnya kasus dugaan cabul tersebut. Kondisi ini dinilai bertentangan dengan ucapan Direskrimum Polda Jatim waktu dijabat Kombes Pitra Ratulangie yang berjanji akan mencekal dan melakukan upaya paksa terhadap tersangka.

Bahkan dikatakan Ana, Kapolda Jatim Irjen Luki Hermawan ketika itu pernah menyampaikan akan menjemput MSA ke pondok pesantren untuk menyerahkan diri.

“Namun hingga Kapolda Jatim tersebut pindah tugas, janji tersebut belum terlaksana,” tandasnya.

Tak berhenti disana, dua kali pengembalian berkas perkara oleh kejaksaan juga dinilai sebagai bentuk melemahnya komitmen dan keseriusan penyidik Polda Jatim untuk mengambil langkah hukum penyelesaian kasus yang sempat menjadi sorotan publik tersebut.

Ana juga mengkritisi alasan Polda Jatim atas tertundanya proses penyidikan akibat pandemi Covid-19. Menurutnya, hal itu hanya alasan polisi mengulur-ngulur waktu penyelesaian perkara. Sehingga pihaknya khawatir, justru tersangka bakal kabur maupun menghilangkan barang bukti.

“(Juga tersangka) mengulangi tindak pidana termasuk melakukan intimidasi kepada korban dalam proses penyidikan perkara ini oleh pihak yang tidak dikenali untuk meminta penyelesaian kasus diluar jalur hukum,” sambung Ana.

Oleh karena itu pihaknya pun menyatakan sikap. Ada tiga poin pernyataan sikap yang dikeluarkan aliansi, antara lain.

1. Mendesak Polda Jatim untuk segera melengkapi berkas perkara sesuai petunjuk jaksa sebelum tepat satu tahun perkara dilaporkan pada tanggal 19 Oktober 2019 dan
menyerahkan tersangka kepada kejaksaan.

2. Mempertimbangkan hasil pemantauan Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap
Perempuan sebagai Lembaga HAM negara yakni :

a. Mempertimbangkan posisi rentan korban sebagai Perempuan serta trauma yang
dialami.

b. Menerapkan ancaman hukuman maksimal pasal 285 KUHP, Jo pasal 286 KUHP Jo pasal 294 ayat (2) KUHP.

c. Melibatkan secara penuh orang tua, kuasa hukum, pendamping sosial Korban.

3. Segera menuntaskan penyidikan perkara ini secara profesional, transparan dan akuntabel sebagaimana ketentuan dalam Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia No. 14 tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana.