JOMBANG, FaktualNews.co-Pandemi Covid-19 menumbuhkan aneka inovasi usaha. Selain budidaya tanaman hidroponik hingga ikan cupang hias, juga usaha kain dengan motif jumputan atau tie dye (ikat celup).
Ini dilakukan Lusiana Triwidiyowati (48), warga Desa Mojowangi, Kecamatan Mojowarno, Kabupaten Jombang.
“Di masa pandemi ini banyak yang minat (kain jumputan) dibanding sebelumnya. Penjualan rata-rata 20 potong per bulannya, meski pembelinya masih sebatas masyarakat sekitar, kerabat, teman kerja. Sedangkan promosi melalui medsos,” ungkap Lusi (sapaan akrabnya), Minggu (20/12/2020).
Usaha kain jumputan produksi rumahan ini, bermula ketika Lusi yang berlatar pendidikan guru seni rupa ini bertemu rekan kampus untuk praktik di bidang tekstil.
Lambat laun pembelajaran mengenai tekstil itu diterapkannya pada sekolah yang diajarnya saat ini hingga kemudian berkembang menjadi bisanis skala rumahan.
“Kami memulai kegiatan usaha ini sejak 2014. Saya dan anak saya akhirnya menekuninya. Ini prosesnya sudah tidak lagi direndam atau direbus,” katanya.
Anaknya, Hosana Widya (22) menyambung saat teknik jumputan berasal dari kata jumput (mengambil) yang kemudian ditali (ikat). Sedangkan tie dye untuk motif yang saat ini lagi kekinian atau ngetren dijelaskan menggunakan teknik meremas kain kemudian diikat.
“Proses pembuatannya pertama itu kita tali atau ikat dulu kainnya untuk menghasilkan motif. Kainnya ini menggunakan kain primis, kemudian dicelupkan pada waterglass. Setelah itu diberikan warna dengan remasol dan akhirnya dijemur,” lanjutnya.
Ibu dan anak ini menyebut pewarnaan kain melalui proses pengecatan menggunakan kuas dengan warna sesuai yang selera atau sesuai pesanan pelanggan. Kemudian kain dijemur di bawah terik sinar matahari langsung.
Motif jumputan atau tie dye dikatakannya bukan lah termasuk kain batik, pasalnya tidak melalui proses membatik, tidak menggunakan canting dan malam.
Harga jual dari kain jumputan ini dibandrol Rp 150 ribu per dua meter.
“Masa pandemi ini berbeda penjualannya, lebih banyak dibandingkan sebelumnya. Saya dalam satu bulan bisa dua kali untuk kulakan (beli bahan) ke Surabaya. Sekali menjemur akhir-akhir ini bisa tujuh kain,” imbuhnya.
Pemilik usaha rumahan ini berharap hasil produksinya semakin diminati masyarakat secara luas dan mendapatkan perhatian khusus pada pihak-pihak terkait seperti pemerintah desa ataupun pemerintah kabupaten untuk membantu pengembangan usaha rumahan.
“Ke depannya saya berharap membuat toko kecil-kecilan di depan rumah untuk display. Tentunya kami juga berharap supaya di Jombang ada penjual kain dan bahan baku produksi, supaya tidak harus ke Surabaya ketika kekurangan bahan,” pungkasnya.(Daniel Prasetyo)