Ukuran Tempe di Surabaya Mengecil Akibat Harga Kedelai yang Tak Stabil
SURABAYA, FaktualNews.co – Kenaikan dan ketidakstabilan harga kedelai mengancam kelangsungan usaha produsen tempe di Surabaya. Kenaikan dan ketidakpastian harga itu membuat biaya pembuatan meningkat dan harga pasaran tidak seimbang.
Satu-satunya jalan untuk bisa bertahan, produsen tempe hanya bisa mengurangi ukuran dagangannya menyesuaikan dengan harga bahan yang berkisar antara Rp 9.200–10.000 per kilogram.
Harga pasaran itu melambung dari harga acuan penjualan di konsumen (HAPK) yang ada di level Rp 6.800 per kilogram.
Ana Ghofur, salah satu produsen tempe di Tenggilis Kauman Gang Buntu, Surabaya mengatakan, kenaikan harga kedelai membuat usahanya seret. Bahkan dia sempat menutup usaha yang telah digeluti selama puluhan tahun itu selama sepekan.
“Saya tidak berani menaikkan harga tempe, solusinya ya akhirnya mengurangi ukuran tempe jadi lebih kecil dari biasanya. Mau menaikkan juga takut konsumen kabur,” kata Ana Ghofur, saat ditemui, Sabtu (9/1/2021).
Cerita Ana, sebelum harga kedelai naik dia memproduksi tempe per hari bisa mencapai 1,5 kuintal. Saat ini turun drastis menjadi hanya 1 kuintasl.
“Sebelum harga kedelai naik produksi bisa sampai satu setengan kuintal, sekarang hanya bisa satu kuintal saja,” tambahnya.
Dia mengatakan, para pengusaha tempe kewalahan dengan kondisi kenaikan dan ketidaksetabilan harga kedelai.
“Yang kami beratkan adalah kenaikan harga yang begitu drastis. Kami sebenarnya tidak mempermasalahkan naik, asalkan tidak seperti saat ini. Hampir tiap hari ada perubahan harga, pusing jadinya,”
Ana Ghofur mengaku sedikit bisa bernafas lega setelah adanya operasi pasar dari Satgas Pangan Jawa Timur.
“Beberapa hari lalu ada operasi pasar untuk kedelai dari Dinas Perindustrian dan Perdagangan. Jadi bisa sedikit membantu,” pungkasnya.