SURABAYA, FaktualNews.co – Pagi buta, Ade Ari, pemuda asal Desa Sempor Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah, sudah mendorong gerobak kecilnya, ke Pasar Pahing, Rungkut, Surabaya.
Memasang payung warna warni kemudian menyiapkan perkakas, menjadi rutinitas yang dilakukannya. Sebelum memulai menjajakan pukis mini buatannya.
Pukis merupakan makanan khas Indonesia. Makanan ini terbuat dari bahan tepung terigu, gula, santan dan telur. Diolah dengan cara menuang adonan ke cetakan berbentuk setengah bulan dan dipanggang di atas api kecil.
Karena ukuran di bawah standar, pukis jualan Ade Ari dikenal sebagai pukis mini. Rasanya familier, tak jauh berbeda seperti terang bulan atau martabak manis. Hanya saja, tidak ada tambahan isi di dalam sajian.
Pria berperawakan kurus itu mengaku, menjadi penjual pukis mini di Kota Surabaya akibat wabah Covid-19. Sebelumnya ia adalah buruh pabrik otomotif di Karawang, Jawa Barat. Perannya sebagai tukang painting perakitan motor di mega industri itu terpaksa berhenti usai terkena PHK, bulan Februari 2020 lalu.
“Saya dulu kerja di pabrik, pabrik motor Yamaha PT YMM (YMMWJ, Yamaha Motor Manufacturing West Java). Habis kontrak, di PHK karena ada corona,” ucap Ade yang mengaku usianya baru 23 tahun kepada media ini, Sabtu (16/1/2021).
Beruntung bagi Ade, meski mulanya berstatus sebagai karyawan kontrak, PT YMMWJ tetap memberi pesangon sebesar hampir Rp8 juta kepada lulusan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Kebumen ini. Uang tersebut lantas dipakai sebagai modal usaha di Kota Pahlawan.
Awal Maret Ade bertandang ke Kota Pahlawan seorang diri, tak serta mengajak istri yang telah dinikahi selama dua tahun. Ia lantas berjumpa teman kampungnya, di Kedung Baruk – Surabaya. Di sana kemudian ia belajar membuat olahan pukis untuk dijual.
Tak butuh waktu lama, hanya dua minggu Ade mengaku mahir membuat adonan pukis hingga menyajikan dengan rupa menarik. Pria berkulit sawo matang ini lalu itung-itung, nekat merogoh kocek, memodali diri membeli semua peralatan bekas senilai Rp4,5 juta untuk berdagang. Mulai dari meja berukuran satu meter persegi, kompor, cetakan pukis mini isi 20, payung, hingga bahan-bahan lain.
“Langsung jualan di Pasar Soponyono (Rungkut),” singkatnya.
Di pasar itu, Ade bernasib sial. Hari demi hari jualannya sepi pembeli tak juga mendapat pelanggan. Adonan satu kilogram yang ia buat kerap berakhir di selokan rumah kontrakan. Dibuang karena basi, tak laku dijual lagi.
Meski rugi, Ade tetap optimis semangat berjualan. Sambil berusaha berdamai dengan wabah corona yang kian menggila. Berjalannya waktu, perasaan khawatir mulai dirasakan. Alih-alih ingin sukses di kota orang, pesangon di kantong justru semakin menipis. Hanya empat bulan ia bertahan di pasar itu, hingga memutuskan pindah ke Pasar Pahing berjarak kurang dari satu kilometer dari tempat semula.
Di lorong jalan Pasar Pahing, Kecamatan Rungkut, Surabaya inilah secerca harapan mulai ada. Pukis mini jualan Ade, lambat laun mulai laris diburu pembeli. Pungutan Rp2 ribu yang dikeluarkan perhari sebagai ganti jasa kebersihan oleh petugas Pasar Pahing tak berarti apa-apa.
“Di sini (Pasar Pahing) lumayan lah, tiga kilogram (adonan) habis. Biasanya satu kilogram saja nggak ngangkat. Malah awal (jualan di Pasar Pahing) sampai pernah empat kilogram,” akunya. Kendati demikian, Ade mengatakan, kadang pernah juga jualannya sepi, “Ya namanya berdagang,” celetuk dia.
Untuk setiap tiga kilogram adonan pukis mini yang terjual, Ade mendapat laba sekitar Rp200 ribu dari omzet sebesar Rp400 ribuan. Angka itu menurutnya sebanding dengan pendapatan saat dirinya masih sebagai buruh pabrik.
Hanya saja kali ini, ia lebih banyak memiliki waktu istirahat karena dagangannya rampung sekitar pukul 09.00 WIB siang. Baru sekitar jam 16.00 WIB, Ade harus berburu kelapa di pasar sebagai bahan membuat adonan untuk esok hari.
Hasil jerih payahnya itu, Ade mengatakan ia sudah mampu membeli sepeda motor matic bekas jenis Honda Vario yang biasa dipakai mengangkut gerobak. Yang tak kalah penting dikatakan Ade, buah kerja kerasnya dapat dibuat menafkahi istri dan keluarga di kampung halaman. Termasuk menyetor duit lebaran 2020, lalu.
“Belum (pulang kampung sama sekali). (Cuma rutin kasih duit) ya. Orang lebaran kemarin mau pulang ndak bisa,” ucapnya.
Ada dua varian rasa pukis mini jualan Ade, original dan pandan. Hal itu berdasar bahan adonan, bedanya, jika rasa pandan pukis mini berwarna hijau. Sementara original berwarna coklat kekuningan seperti umumnya kue pukis.
Bukan itu saja, Ade juga menawarkan tiga macam topping berbeda di setiap varian rasa. Ada taburan kacang, coklat serta keju diatas pukis mini tersebut. Sayangnya pada kesempatan ini, topping kacang tak tersedia lantaran bahan baku habis.
“(Pelanggan) lebih suka coklat dan keju,” tandasnya.
Begitu pelanggan datang, Ade menanyakan tentang pilihan rasa. Kemudian memberikan pukis mini yang telah disiapkan sebelumnya. Kala persediaan tersisa beberapa kemasan diatas meja gerobak, Ade pun kembali memasak.
Mulanya cetakan dipanasi terlebih dahulu hingga mencapai panas yang diinginkan. Selanjutnya, Ade membalurinya dengan margarin pada setiap lubang cetakan dan menuang adonan menggunakan teko plastik sampai penuh satu per satu.
Pada saat adonan setengah matang, bahan topping ditabur diatasnya berupa butiran kacang, meses coklat atau parutan keju, tergantung pesanan. Setelah itu, Ade kembali menutup cetakan menggunakan alat yang ada. Butuh waktu 3 hingga 4 menit pukis mini sudah siap diangkat, disusun satu persatu ke dalam kemasan mika plastik.
Harga pukis mini untuk semua jenis rasa maupun topping pun sama. Yaitu Rp6 ribu per porsi. Setiap satu porsi berisi sepuluh pukis mini. Namun khusus pelanggan, ada harga spesial, cukup membayar Rp5 ribu saja.
“Tanpa bahan pengawet, besok sudah ganti adonan lagi,” pungkasnya.
Ade ketika menuang adonan ke atas cetakan pukis mini, Sabtu (16/1/2021).