FaktualNews.co

Manusia Biang Bencana Hidrologi di Jawa Timur

Nasional     Dibaca : 1129 kali Penulis:
Manusia Biang Bencana Hidrologi di Jawa Timur
FaktualNews.co/Mokhamad Dofir
Rere Christanto, Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Jatim di Surabaya, Rabu (20/1/2021).

SURABAYA, FaktualNews.co – Awal tahun 2021 bencana hidrologi menyasar berbagai wilayah di tanah air, tak terkecuali Jawa Timur. Mulai dari banjir, angin puting beliung, badai hingga tanah longsor.

Faktor alam seperti meningkatnya curah hujan hingga cuaca ekstrim, dituding sebagai pemicu terjadinya bencana alam tersebut. Meski tak salah, namun anggapan itu juga tak sepenuhnya benar. Sebab, faktor alam berupa tingginya curah hujan serta cuaca ekstrim terjadi justru karena ada campur tangan manusia.

“Jadi kalau kita melihat meningkatnya curah hujan, jumlah air yang turun ke bumi itu tidak serta merta dilihat karena urusan alam semata. Tapi alam ini berubah karena faktor manusianya,” ucap Rere Christanto, Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Jatim di Surabaya, Rabu (20/1/2021).

Dengan mengutip pernyataan mantan Kepala BNPB Almarhum Sutopo Purwo Nugroho, Rere menyampaikan, sebenarnya ada dua faktor penyebab bencana hidrologi terjadi. Pertama, karena dinamika cuaca (faktor alam). Kedua akibat dinamika manusia atau dikenal dengan istilah antropogenik. Namun bagi Rere, kedua dinamika penyebab timbulnya bencana alam tersebut sama-sama karena ulah manusia.

Ia menjelaskan, cuaca ekstrim terjadi akibat perubahan iklim disebabkan oleh pemanasan global. Sedangkan pemanasan global itu sendiri akibat tak terkendalinya emisi gas rumah kaca seiring meningkatnya penggunaan energi fosil oleh manusia. Jadi dapat disimpulkan, biang bencana hidrologi sesungguhnya adalah antropogenik.

“Perubahan iklim sendiri didorong oleh banyak segala aktivitas manusia. Salah satunya yang paling besar adalah penggunaan energi fosil. Penggunaan energi fosil menyebabkan meningkatnya emisi gas rumah kaca, emisi gas rumah kaca menyebabkan pemanasan global, pemanasan global menyebabkan perubahan iklim. Nah perubahan iklim inilah yang kemudian menjadi salah satu pemicu terbesar meningkatnya bencana hidrologi,” urainya.

Selain perubahan iklim akibat emisi gas rumah kaca, penyebab meningkatnya bencana hidrologi juga dipengaruhi berkurangnya zona hijau di Jawa Timur. Hutan dan kawasan ekologi di wilayah pesisir, kini beralih fungsi. Menjelma menjadi bangunan infrastruktur maupun area industri pertambangan.

Padahal hutan maupun kawasan ekologi di wilayah pesisir semula difungsikan sebagai penghalau terjangan bencana hidrologi. Apabila keberadaan hutan dan kawasan ekologi itu tidak fungsional lagi, dikatakan Rere, daerah itu dan sekitarnya punya kerentanan tinggi terjadi bencana hidrologi.

“Cuacanya sendiri sudah berubah akibat perubahan iklim. Yang kedua banyak kawasan-kawasan penting secara ekologis sudah banyak berubah fungsi,” lanjutnya.

Berpegang dari data Global Forest Watch, Rere menjelaskan, luasan daerah tertutup pohon (area of humid primary forest) di Jawa Timur sejak tahun 2001 hingga 2019, telah menyusut 84.5 Kilohektar (Kha). Dimana 9.32 Kha-nya merupakan kawasan hutan yang berada di Kabupaten Banyuwangi, Trenggalek, Jember, Malang dan Pacitan.

Padahal kawasan-kawasan itu berperan sebagai daerah penyanggah untuk melindungi daerah hilir dari bencana hidrologi, “Karena jika kawasan itu rusak, maka akan menyebabkan keterancaman bagi kawasan dibawahnya,” ucap Rere.

Banjir di Jember salah satunya, disinyalir terjadi akibat menyusutnya areal hutan di Banyuwangi. Meski kondisi ini mengkhawatirkan. Namun bagi Rere, masih ada upaya yang bisa dilakukan agar bencana hidrologi di Jawa Timur tidak semakin meningkat.

Yakni dengan menata ulang perencanaan tata ruang pembangunan, baik oleh pemerintah ataupun swasta, dengan memperhatikan daya tampung maupun daya dukung lingkungan. Menghidupkan kembali fungsi hutan sebagai penyanggah daerah hilir dari bencana hidrologi.

Sedangkan untuk wilayah pesisir, dengan cara memperkuat kapasitas manusia dan lingkungan pada area yang memiliki kerentanan bencana tinggi. “Kalau ancamannya sudah tinggi, kapasitasnya yang harus dikuatkan,” tandasnya.

Penguatan kapasitas manusia dimaksud Rere, dengan memberi pengetahuan mengenai kebencanaan kepada masyarakat di wilayah rentan bencana. Sementara memperkuat kapasitas lingkungan dengan meningkatkan daya halau kawasan terhadap bencana. Mempertahankan atau bahkan menambah kapasitas ekologi di pesisir. Bukan malah mengeksploitasi menjadi daerah pertambangan.

“Menurunkan kerentanan bencana itu dengan meningkatkan kapasitas wilayah. Sumber daya manusianya mendapat pendidikan soal tanggap bencana, kapasitas lingkungan juga harus dikuatkan,” pungkas Rere.

Baca berita menarik lainnya hasil liputan
Editor
Z Arivin