FaktualNews.co

Mengenal Sejarah Surabaya Ibu Kota Provinsi Jawa Timur

Sosial Budaya     Dibaca : 3221 kali Penulis:
Mengenal Sejarah Surabaya Ibu Kota Provinsi Jawa Timur
FaktualNews.co/Mokhamad Dofir/
Patung Sura dan Buaya di depan Kebun Binatang Wonokromo, Surabaya.

SURABAYA, FaktualNews.co – Surabaya merupakan ibu kota provinsi Jawa Timur. Kota dimana pusat pemerintahan provinsi maupun kotamadya dijalankan. Selain sebagai pusat pemerintahan, Surabaya juga dikenal sebagai salah satu kota metropolitan penuh sejarah di Indonesia.

Dikutip dari buku ‘Sejarah Pemerintah Kota Surabaya‘ tulisan Purnawan Basundoro, terbitan Departemen Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga dan Almatera Publishing (2012). Pemerintahan Kota Surabaya terbentuk berkat undang-undang desentralisasi yang disahkan pada masa pemerintahan VOC Belanda tahun 1903.

Penyusunan undang-undang desentralisasi (Wet Houdende Decentralisatie aan het Bestuur in Nederlnndsch Indie) atau Decentralisatie Wet 1903 tersebut, merupakan respon atas keluhan warga pendatang (Eropa) soal kesemrawutan tata kota. Sehingga perlu dibentuk pemerintahan lokal untuk mengaturnya karena masa itu semua wilayah di Indonesia dikendalikan langsung dari pemerintah pusat di Batavia (Jakarta).

“Pada masa pra-kolonial kota-kota bukanlah kawasan yang memiliki pemerintahan tersendiri yang otonom. Kota pada waktu itu merupakan bagian dari wilayah pemerintahan induknya,” tulis Purnawan Busandoro:1.

Selang tiga tahun setelah disahkan Decentralisatie Wet 1903, Pada 1 April 1906. Kolonial Belanda kemudian membentuk Gemeente Surabaya, alias pemerintahan Kota melalui Stnatsblad Nomor 149 Tahun 1906.

“Dengan berdirinya Gemeente Surabaya, maka Surabaya ditetapkan sebagai kota otonom atau kota mandiri yang berkewajiban mengelola dan mendanai sendiri kota tersebut,” lanjutnya.

Bertepatan dengan terbentuknya Gemeente Surabaya, lambang kota juga dibuat. Berupa dua ekor singa berwarna emas berlidah dan bercakar api memegang perisai bergambar ikan hiu dan buaya. Diatas perisai ada rupa benteng, bermakna Surabaya dalam penguasaan Belanda. Dibawah lambang terdapat pula pita bertuliskan SOERA-ING-BAIA.

Lambang Pemerintah Kota Surabaya pada masa kolonial Belanda (istimewa)

Lambang Pemerintah Kota Surabaya pada masa kolonial Belanda (istimewa)

Purnawan menyampaikan, di awal pembentukan, Gemeente Surabaya belum memiliki kelengkapan organisasi. Dimana semestinya, terdapat jabatan Burgemeester (Walikota) untuk mengendalikan pemerintahan. Yang saat itu masih dipegang oleh Asisten Residen Surabaya (wakil pemerintah Belanda di Batavia), WF Luther.

Pasca WF Luther, Burgemeester Gemeente Surabaya dipegang JH Waleson. Lalu digantikan oleh GTh Stibbe, serta terakhir dijabat LJ Schippers.

Jabatan Burgemeester definitif baru dipilih pada tahun 1916. A Meijroos terpilih sebagai Burgemeester pertama yang menjabat mulai tanggal 21 Agustus 1916 hingga 1920. Penerusnya secara berturut-turut, GJ Dijkerman (1920-1926), HI Bussemaker (1926-1932), GJ Ter Poorten (1932-1936), WH Van Helsdingen (1936-1942), WAH Futcher (1942).

“Dengan diangkatnya burgemeester secara definitif maka roda pemerintahan Gemeente Surabaya mulai berjalan dengan baik,” katanya.

Balai kota sebagai pusat pemerintahan Surabaya juga awalnya belum dimiliki. Burgemeester bersama Gemeenteraad (wakil rakyat) ketika itu masih menjalankan operasional di kawasan Willemsplein, sekitar Jembatan Merah. Baru tahun 1923, gedung balaikota (stadshuis) dibangun.

Untuk mempermudah pengelolaan kota, wilayah Gemeente Surabaya dibagi kedalam 26 wijk (lingkungan). Yakni, Kebalen, Pesapen, Krembangan, BoomstraatBergwars Straat, Pangong I, Pangong II, Pangong III, Kapasari, Kampong Baroe, Ampel, Marine Etablissement IMarine Etablissement II, Tjantian I, Tjantian II, Kalie Anjar, Gemblongan, Plampitan, Krambangan, Bandar Genteng, Ketabang, Groedo, Embong Malang, Peneleh, Tambaksari dan Bubutan.

Semasa kemerdekaan, Kota Surabaya mengalami perubahan signifikan. Terutama sebutan untuk lembaga-lembaga pemerintahan. Pada masa kolonial Belanda, pemerintah kota Surabaya disebut gerueente (kemudian ditingkatkan menjadi stadsgemeente). Pun pada masa penjajahan Jepang tahun 1942, penjajah menamai dengan sebutan shi berwalikota Takashi Ichiro.

“Pada saat Jepang menyatakan menyerah kalah kepada sekutu, ia (Takashi Ichiro) menyerahkan jabatan Walikota Surabaya kepada wakilnya, yaitu Rajamin Nasution,” katanya, di halaman 46.

Namun penyelenggaraan pemerintahan dibawah Rajamin Nasution tidak berjalan efektif lantaran peran Komite Nasional Indonesia yang dibentuk Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) di Jakarta lebih dominan. Selain Rajamin Nasution, pada masa ini juga tercatat sejumlah pejabat Walikota Surabaya. Di pihak Belanda ada CJG Becht, sedangkan kaum pribumi mengutus Indrakoesoema yang dilanjutkan oleh Soerjadi.

Setelah Belanda mengakui kedaulatan Indonesia, 27 Desember 1949. Jabatan Walikota Surabaya baru diberikan pemerintah pusat secara sah kepada Doel Arnowo, salah seorang anggota Komite Nasional Indonesia. Pada masanya, pemerintah kota mulanya bernama Gemeente, lalu shi, diubah menjadi Pemerintah Kota Besar Surabaya mengacu pada Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948.

Selanjutnya pada tanggal 4 Desember 1950, disampaikan Purnawan. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sementara (DPRDS) terbentuk, berjumlah 32 anggota yang diketuai oleh Soeprapto, pentolan Masjumi.

Jabatan Doel Arnowo pun berakhir pada tahun 1952. Walikota Surabaya kemudian dipegang Moestajdab Soemowidagdo (1952-1956), Istadjab Tjokrokoesoemo (1956-1958), RS Sastrodiredjo (1958-1963) dan Moerachman (1963-1965).

Tahun 1965, sebuah petaka besar mewarnai perpolitikan tanah air. Para tokoh dan pejabat yang diduga berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) disingkirkan. Termasuk Walikota Surabaya saat itu, Moerachman. Ia ditangkap dan dijebloskan ke penjara Kalisosok, Krembangan Surabaya. Namun belakangan nasibnya tak diketahui publik.

“Untuk mengisi kekosongan itu, Letnan Kolonel R Soekotjo yang pada waktu itu menjabat sebagai Komandan Korem Surabaya diangkat sebagai pelaksana tugas Walikota Surabaya,” lanjut dia.

Penunjukan Letkol R Soekotjo mengawali babak baru kekuasaan politik di Kota Surabaya dipegang oleh militer. Kendati demikian, masa kepemimpinan Letkol R Soekotjo meninggalkan segudang prestasi yang bisa dinikmati hingga sekarang. Diantaranya sejumlah pembangunan ruas jalan di kota ini salah satu Jalan Kenjeran – Kedungcowek. Pembangunan Pasar Genteng, Pasar Turi dan Pasar Atom juga berlangsung dibawah kekuasaan Letkol R Soekotjo. Termasuk Terminal Joyo Boyo dan kawasan SIER (Surabaya Industrial Estate Rungkut).

Bukan itu saja, Walikota Letkol R Soekotjo juga membagi Surabaya menjadi tiga daerah administrasi Kotamadya. Meliputi Surabaya Timur, Surabaya Utara dan Surabaya Selatan.

Usai jabatannya berakhir, DPRD Surabaya kemudian memilih Kolonel R Soeparno, sama-sama berasal dari kalangan militer sebagai Walikota Surabaya masa bhakti 1974 – 1979. Kolonel R Soeparno lalu digantikan oleh Moehadji Widjaja (1979-1984), Poernomo Kasidi (1984-1994) dan Soenarto Soemoprawiro (1994-2002).

Usai kekuasaan militer berakhir, Kota Surabaya semakin berkembang pesat dengan kepemimpinan baru. Bambang DH kader PDI Perjuangan memimpin pertama kalinya di masa reformasi dari tahun 2002 hingga 2010. Sampai Walikota perempuan pertama di Surabaya Tri Rismaharini, juga tampil melanjutkan kepemimpinan Bambang DH berdasar pemilihan langsung hingga purna bhakti hingga tahun 2020 yang seharusnya tahun 2021 karena ia diangkat Presiden Joko Widodo menjadi Menteri Sosial. Wakilnya, Whisnu Sakti Buana menjadi pelaksana tugas memimpin wilayah seluas 326,37 km persegi tersebut sampai Februari 2021.

Awal Mula Sebutan Surabaya

Meski pembentukan pemerintah kota Surabaya baru terjadi pada abad 19, hari jadi Kota Pahlawan justru ditentukan tanggal 31 Mei 1293. Hal itu berkaitan dengan peristiwa kemenangan pasukan Ujung Galuh pimpinan Raden Wijaya dalam mengusir pasukan Mongol.

“Waktu itu tentara Tartar dapat diusir oleh pasukan Raden Wijaya dari Ujung Galuh,” tulis Soenyono, Staf Pengajar Universitas Wisnuwardhana dalam Jurnal Penelitian Humoniora, berjudul ‘Perkembangan Permukiman di Bantaran Sungai Surabaya dari Perspektif Sosiologi’ (2016).

Di abad ke 13, Ujung Galuh merupakan kerajaan kecil berupa perkampungan di muara Kali Mas. Namun dalam perkembangannya, pada abad ke 16 hingga 17, kerajaan cikal bakal Kota Surabaya tersebut mempunyai pengaruh yang sangat luas. Meliputi Bang Wetan, sebagian Kalimantan ke timur sampai ke Ambon, yang mulai saat itu dikenal sebagai kerajaan niaga termasyhur di Nusantara. Dan mempunyai hubungan dagang dengan negara asing seperti Portugis, Belanda, Inggris serta Cina.

Pasukan Mongol dari arah laut bertempur dengan kekuatan Ujung Galuh di daratan itu, digambarkan sebagai pertarungan sengit antara ikan hiu (Suro) dan buaya (boyo).

Bahkan dalam catatan sejarah, Prasasti Trowulan I berangka 1358 Masehi menerangkan bila Ujung Galuh (Hujunggaluh) adalah sebuah desa di tepian Sungai Brantas sebagai salah satu tempat penyeberangan penting pada masanya.

Lain halnya dengan hipotesa yang dibuat oleh ilmuwan Belanda, Von Faber. Dikemukakan oleh Soenyono, bahwa Surabaya didirikan pada tahun 1275 M oleh Sri Maharaja Kertanagara, raja terakhir Singhasari, sebagai tempat permukiman baru bagi para prajurit yang berhasil menumpas pemberontakan Kemuruhan di tahun 1270 M.

Pemukiman itu terletak di sebelah utara Glagah Arum dengan Kali Mas dan Kali Pegirian sebagai batasan. Sementara batas di selatan kini menjadi Jalan Jagalan dan di utara berubah menjadi Stasiun Kereta Api Semut.

“Yang sebelah utara hilang sewaktu dibangun Stasiun Kereta Api Semut,” pungkas Soenyono.

Baca berita menarik lainnya hasil liputan
Editor
S. Ipul