Riwayat Trem Warisan Belanda di Surabaya
SURABAYA, FaktualNews.co – Rel besi tua membujur dibalik aspal Jalan Veteran Kota Surabaya, merupakan satu diantara jejak kejayaan trem pada masa kolonialisme Belanda. Jalur kereta dalam kota itu sempat digali Walikota Risma untuk dihidupkan sebagai jalur moda transportasi utama, namun kembali dikubur karena terbentur biaya.
Dalam riwayatnya, Surabaya adalah kota kedua setelah Jakarta yang memiliki trem. Trem beroperasi di Kota Pahlawan sejak abad ke 18, mulai ketika bertenaga kuda, uap, baterai hingga listrik dan terus mengalami perkembangan sampai tahun 1942.
Pada 7 Juni 1888, pemerintah Hindia Belanda menunjuk Oost Java Stoomtram (OJS) Maatschappij. Gabungan perusahaan swasta asal negeri kincir angin sebagai pemegang hak mengelola trem di Surabaya, (Abdul Hakim, Menjemput Masa Depan Trem Surabaya, 2017:124).
OJS Maatschappij membuka jalur trem perdana rute Ujung – Kramatgantung – Wonokromo – Sepanjang – Krian – Sepanjang. Kemudian dilanjutkan ke Mojokerto hingga Ngoro. Trem yang beroperasi waktu itu masih bertenaga uap. Lantaran asap bahan bakar menimbulkan polusi, OJS Maatschappij kembali mengajukan diri membangun jalur trem bertenaga listrik.
Pengajuan itu baru disetujui pemerintah kolonial Belanda pada tahun 1910. OJS Maatschappij lalu membangun jalur trem listrik rute Wonokromo – Willemsplein – Goebeng Boelevard – Simpangsplein – Palmlaan – Willemsplein, Stasiun Goebeng SS – Sawahan – Willemsplein – Pelabuhan Baru.
Jalur trem listrik tersebut kemudian resmi beroperasi pada 15 Mei 1923. Namun tak semua rute dibuka, baru pada tanggal 11 Februari 1924, trem listrik bisa melayani seluruh rute, (Abdul Hakim, Menjemput Masa Depan Trem Surabaya, 2017:128-129).
Pelayanan trem listrik waktu itu ada tiga jenis. Untuk penumpang umum, khusus abonemen pegawai atau pekerja serta bagi anak sekolah. Semuanya terbagi dalam dua kelas, kelas 1 dan kelas 2.
Moda transportasi paling modern di jamannya itu terus menjadi primadona. Berdasar data tahun 1927, sekitar 5,2 juta orang telah menggunakan layanan trem uap dalam bepergian. Sementara penumpang trem listrik juga tak kalah banyak. Di tahun yang sama telah mencapai 11,4 juta orang. Data itu terus mengalami kenaikan sampai puncaknya tahun 1935.
Akibat krisis ekonomi di Hindia Belanda, minat penumpang menggunakan trem listrik maupun uap mengalami penurunan tajam. Selain akibat krisis keuangan, juga disinyalir akibat munculnya transportasi baru jenis taksi di Kota Surabaya, (Abdul Hakim, Menjemput Masa Depan Trem Surabaya, 2017:131).
Masa sulit trem terus berlanjut hingga pada masa pendudukan Jepang di Nusantara. Selama perang dunia II, pasokan listrik untuk menggerakan kereta tersendat, hanya trem uap yang masih beroperasi dengan rute Ujung – Kedurus – Sepanjang.
Setelah kemerdekaan Indonesia tahun 1949, perusahaan milik Belanda dinasionalisasi secara bertahap oleh Presiden Soekarno. Termasuk dengan OJS Maatschappij. Semenjak berada di tangan pemerintah Republik Indonesia, jaman keemasan trem makin meredup. Berangsur-angsur ditinggalkan masyarakat karena pelayanan buruk seiring tidak ada peremajaan.
Bukan itu saja, kehadiran transportasi non jalur seperti taksi mengikis keberadaan trem. Hingga tahun 1970, trem di Surabaya benar-benar mati.