BANYUWANGI,FaktualNews.co– Sejarah kelahiran Banyuwangi, terdapat dua versi, yaitu versi ‘resmi’ dan versi legenda atau cerita rakyat. Merujuk situs resmi Pemkab Banyuwangi, Banyuwangi diyakini lahir pada 18 Desember 1771.
Pada tahun itu ada peristiwa sejarah paling tua dan patut diangkat sebagai hari jadi Banyuwangi. Perang Bayu atau Perang Puputan Bayu (ada yang menyebut Pemberontakan Jagapati), salah satu perlawanan pejuang Blambangan melawan VOC dibantu oleh laskar-laskar pribumi dari Madura dan Jawa Timur lain.
Perang Bayu I dipimpin oleh Mas Rempeg atau Pangeran Jagapati, buyut dari Pangeran Tawang Alun, putra Mas Bagus Dalem Wiraguna (Mas Bagus Puri) dengan ibu dari Desa Pakis, Banyuwangi (Pigeaud, 1932: 255). Dalam perang ini, Rempeg dengan hampir seluruh pengikutnya, seperti Patih Jagalara, Mas Ayu (Sayu) Wiwit, Bekel-bekel Utun, Udhuh, Runteb dan lain-lain gugur.
Perwira VOC yang terlibat di Blambangan dalam peperangan ini adalah Residen Blambangan Cornelis van Biesheuvel dan penggantinya Hendrik van Schopoff. Selain itu terdapat nama-nama lain seperti Sersan Mayor Van Schaar, Letnan Kornet Tine, Vandrig Ostrousley, Kapten Reygers.
Perang berlanjut pada Perang Bayu II. Pejuang Blambangan dipimpin oleh Bapa Endha melawan VOC. Perwira VOC yang terlibat dalam perang yakni Kapten Heinrich, Vaandrig Guttenberg, Vaandrig Lenigen, Peltu Mirop dan Peltu Djikman.
Dengan demikian, lahirnya sebuah tempat yang kemudian menjadi terkenal dengan nama Banyuwangi, telah menjadi penyebab awal terjadinya peperangan dahsyat, perang Puputan Bayu. Kalau sekiranya Inggris tidak bercokol di Banyuwangi pada tahun 1766, mungkin VOC tidak akan buru-buru melakukan ekspansinya ke Blambangan pada 1767.
Dan karena itu perang Puputan Bayu tidak akan terjadi ( puncaknya ) pada tanggal 18 Desember 1771. Dengan demikian pasti terdapat hubungan yang erat perang Puputan Bayu dengan lahirnya sebuah tempat bernama Banyuwangi.
Dengan perkataan lain, perang Puputan Bayu merupakan bagian dari proses lahirnya Banyuwangi. Karena itu, penetapan tanggal 18 Desember 1771 sebagai hari jadi Banyuwangi sesungguhnya sangat rasional.
Versi Legenda
Sedangkan versi legenda, asal-usul mama Banyuwangi, bermula ketika konon dahulu wilayah ujung timur Pulau Jawa yang alamnya begitu indah ini dipimpin seorang raja yang bernama Prabu Sulahkromo.
Dalam menjalankan pemerintahannya ia dibantu seorang patih yang gagah berani, arif, tampan bernama Patih Sidopekso. Istri Patih Sidopekso yang bernama Sri Tanjung sangatlah elok parasnya, halus budi bahasanya sehingga membuat sang Raja tergila- gila padanya.
Agar tercapai hasrat sang raja untuk membujuk dan merayu Sri Tanjung maka muncullah akal liciknya dengan memerintah Patih Sidopekso untuk menjalankan tugas yang tidak mungkin bisa dicapai oleh manusia biasa.
Maka dengan tegas dan gagah berani, tanpa curiga, sang Patih berangkat untuk menjalankan titah Sang Raja. Sepeninggal Sang Patih Sidopekso, sikap tak senonoh Prabu Sulahkromo dengan merayu dan memfitnah Sri Tanjung dengan segala tipu daya dilakukanya.
Namun cinta Sang Raja tidak kesampaian dan Sri Tanjung tetap teguh pendiriannya, sebagai istri yang selalu berdoa untuk suaminya. Berang dan panas membara hati Sang Raja ketika cintanya ditolak oleh Sri Tanjung.
Ketika Patih Sidopekso kembali dari misi tugasnya, ia langsung menghadap Sang Raja. Akal busuk Sang Raja muncul, memfitnah Patih Sidopekso dengan menyampaikan bahwa sepeninggal Sang Patih pada saat menjalankan titah raja meninggalkan istana, Sri Tanjung mendatangi dan merayu serta bertindak serong dengan Sang Raja.
Tanpa berfikir panjang, Patih Sidopekso langsung menemui Sri Tanjung dengan penuh kemarahan dan tuduhan yang tidak beralasan.
Pengakuan Sri Tanjung yang lugu dan jujur membuat hati Patih Sidopekso semakin panas menahan amarah dan bahkan Sang Patih dengan berangnya mengancam akan membunuh istri setianya itu. Diseretlah Sri Tanjung ke tepi sungai yang keruh dan kumuh.
Namun sebelum Patih Sidopekso membunuh Sri Tanjung, ada permintaan terakhir dari Sri Tanjung kepada suaminya, sebagai bukti kejujuran, kesucian dan kesetiannya ia rela dibunuh dan agar jasadnya diceburkan ke dalam sungai keruh itu.
Apabila darahnya membuat air sungai berbau busuk, maka dirinya telah berbuat serong. Tapi jika air sungai berbau harum maka ia tidak bersalah.
Patih Sidopekso tidak lagi mampu menahan diri, segera menikamkan kerisnya ke dada Sri Tanjung. Darah memercik dari tubuh Sri Tanjung dan mati seketika. Mayat Sri Tanjung segera diceburkan ke sungai dan sungai yang keruh itu berangsur-angsur menjadi jernih seperti kaca serta menyebarkan bau harum, bau wangi.
Patih Sidopekso terhuyung-huyung, jatuh dan ia jadi linglung, tanpa ia sadari, ia menjerit “Banyu….. … wangi…………… . Banyu wangi … ..” artinya (Air wangi) Banyuwangi terlahir dari bukti cinta istri pada suaminya.
Menurut budayawan muda Banyuwangi, Adlin Mustika, dari legenda atau cerita rakyat itulah, wilayah yang semula bernama Blambangan kemudian di sebut Banyuwangi.
“Begitu cerita singkatnya, dan legenda itu turun temurun hidup di masyarakat,” pungkasnya, Minggu (7/2/2021).