FaktualNews.co

Pandangan Pakar Unej Soal Banjir di Jember

Lingkungan Hidup     Dibaca : 750 kali Penulis:
Pandangan Pakar Unej Soal Banjir di Jember
FaktualNews.co/Istimewa
Belasan Lansia dan Bayi dievakuasi ke posko baru, karena posko awal terendam banjir di Jember. (dok)

JEMBER, FaktualNews.co – Pakar dari Universita Jember (Unej) Luh Putu Suciati menyebut tiga faktor penyebab banjir di tiga desa wilayah Kecamatan Tempurejo, Kabupaten Jember.

Ketiganya adalah penggundulan hutan, tipologi wilayah terdampak dan curah hujan yang tinggi.

Dosen Fakultas Pertanian Unej tersebut memerinci, tutupan lahan yang ada di Taman Nasional Meru Betiri saat ini berkurang alias terjadi banyak penggundulan hutan.

“Luas lahan kritisnya sekitar 2700 Ha dan yang sering terjadi adalah pembalakan liar oleh pihak-pihak luar. Sehingga itulah yang mengakibatkan terjadinya banjir,” kata Suciati kepda media, Minggu (7/1/2021).

Luh Putu Suciati menjelaskan, faktor kedua terkait dengan tipologi wilayah. Tipologi wilayah terdampak banjir di Kecamatan Tempurejo yakni Desa Wonoasri, Desan Andongrejo dan Desa Curahnongko itu seperti mangkok.

Faktor ketiga, lanjut Luh Putu Suciati, adalah curah hujan yang tinggi belakangan ini. Dia menyebut jika curah hujan tinggi, maka akan menggenang di Wonoasri (dan dua desa lainnya di Kecamatan Tempurejo itu).

Yang mestinya dilakukan, kata dia, adalah memperbaiki drainase, yaitu drainase yang mengalir ke muara. Jadi di Bandealit itu merupakan hilirnya dan Wonoasri terletak dibagian tengah,” jelasnya.

“Hulunya ada di Gunung Meru sana. (Dengan kondisi) Gunung Meru sudah mulai gundul, akibat banyak terjadi pembalakan liar. Namun memang masyarakat (menggantinya upaya reboisasi) dengan mereka banyak menanam tanaman pangan seperti padi dan jagung, tapi itukan kurang kuat akarnya,” sambungnya.

Dampak selanjutnya adalah aliran banjir membawa banyak material lumpur, batang, dan ranting-ranting pohon. “DAS juga meluap dan debit air bertambah,” imbuh dia.

Menurutnya, upaya menahan debit air tinggi agat tidak terjadi luapan pada daerah aliran sungai sebenarnya sudah dibuatkan tanggul penahan. Namun karena tidak mampu menahan arus, tanggul itu tidak kuat dan jebol.

“Karena curah hujan yang tinggi, mengakibatkan tutupan lahan di atas tidak bisa mengimbangi curah hujan yang cukup tinggi, jadi memang Wonoasri tiap tahun selalu banjir,” ungkap tenaga ahli yang ditunjuk UNEJ untuk menganalisa penyebab banjir itu.

Terkait dengan pandangan Luh Putu Suciati tersebut, Kepala Balai Taman Nasional Meru Betiri Maman Surahman mengatakan, bahwa hutan sebagai penyangga atau penahan air saat musim hujan sekarang tidak terjadi run off untuk menekan banjir.

“Di beberapa tempat terutama di tiga desa yaitu Wonoasri, Curah Nongko, dan Andongrejo ini merupakan wilayah yang penutupan lahannya mulai berkurang sehingga kami berupaya memulihkan ekosistem,” ujar Maman.

Maman mengatakan, upaya untuk pemulihan ekosistem itu pun sebenarnya telah dilakukan sejak tahun 2017 lalu.

“Telah diupayakan bagaimana hutan tetap sebagai penyangga penahan air dan hal itu sudah dimulai sejak lama. Sehingga upaya reboisasi ini dengan tujuan keseimbangan ekologi dan ekonomi. Di sisi lain tujuan akhirnya juga untuk melestarikan hutan sebagai penyangga ekosistem,” katanya.

 

Baca berita menarik lainnya hasil liputan
Editor
Muhammad Sholeh