FaktualNews.co

Soal Laporan Din Syamsuddin, PW Muhammadiyah Jatim: Demokrasi Telah Mati

Nasional     Dibaca : 850 kali Penulis:
Soal Laporan Din Syamsuddin, PW Muhammadiyah Jatim: Demokrasi Telah Mati
FaktualNews.co/Mokhamad Dofir/
Wakil Ketua PW Muhammadiyah Jawa Timur, Nadjib Hamid.

SURABAYA, FaktualNews.co – Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah, Muhammad Sirajuddin Syamsuddin atau lebih dikenal dengan Din Syamsuddin, dilaporkan oleh Gerakan Anti Radikalisme alumni Institut Teknologi Bandung (GAR-ITB) ke Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) dan Badan Kepegawaian Negara (BKN).

Pelaporan dilakukan karena GAR-ITB menilai Din Syamsuddin diduga telah melanggar sejumlah prinsip kepegawaian dalam kapasitasnya sebagai Dosen Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidyatullah.

Atas pelaporan itu, PW Muhammadiyah Jawa Timur pun bersuara. Pihaknya mengganggap langkah GAR-ITB merupakan upaya penguasa untuk membungkam Din Syamsuddin dari sikap kritisnya. Dan hal ini sebagai pertanda demokrasi di Indonesia telah mati.

“Itu tanda-tanda demokrasi telah mati. Karena setiap sikap kritis dimaknai anti (pemerintah),” ujar Wakil Ketua PW Muhammadiyah Jawa Timur, Nadjib Hamid, kepada FaktualNews.co, Senin (15/2/2021).

Nadjib mengatakan, setiap kritikan yang disampaikan berbagai pihak kepada pemerintah belakangan ini, selalu diikuti laporan-laporan, bully hingga persekusi seakan-akan pengkritik anti terhadap pemerintah. Jika kondisi ini terus dibiarkan, ia khawatir demokrasi di Indonesia yang susah payah dibangun akan hancur.

“Bisa hancur demokrasi di negeri ini, bisa porak poranda,” lanjutnya

Perbedaan pendapat dikatakan Nadjib, adalah hal lumrah terjadi di negara Indonesia yang menganut sistem demokrasi. Sehingga menurut dia pemerintah sepatutnya menghargai setiap silang pendapat yang terjadi. Bukan justru menstigmatisasi pengkritik sebagai seorang radikal hingga ada upaya kriminalisasi.

Sebuah kritikan lanjut dia, merupakan cara warga memberi masukan kepada pemerintah agar kebijakan yang dijalankan menjadi lebih baik.

“Kan pemerintah ini menjalankan amanah. Negara ini negara demokrasi, biasakan beda pendapat,” tandasnya.

Apabila pemerintah keberatan dikritik, maka ia memastikan perlahan negara yang dipimpin akan hancur. Pun dengan sang pemimpin, di akhir kepemimpinan pasti akan dinistakan.

Nadjib kemudian memberi contoh berdasar sejarah Islam yang pernah terjadi. Seperti kisah Firaun, Qarun serta Namrud yang memiliki kekuasaan luar biasa namun pada akhirnya tercampakkan.

Begitu pula di Indonesia, sejarah mencatat penguasa anti kritik juga bernasib nahas di ujung kekuasaannya.

“Bagaimana dulu Pak Hamka (Buya Hamka) dinistakan. Orang yang menistakan juga mendapat hukuman sebelum mati,” ucap Nadjib.

Oleh karena itu, Nadjib menjelaskn pihaknya akan terus berada di belakang Din Syamsuddin untuk memberi dukungan moril menghadapi pelaporan GAR-ITB. Serta menegaskan selalu konsisten mengkritik pemerintah apabila ada kebijakan yang dianggap melenceng.

Sebab jelas dia, prinsip Muhammadiyah sebagai organisasi masyarakat yang memegang teguh konsep amar maruf nahi munkar.

“Muhammadiyah ndak peduli pemerintah siapa, karena itu merupakan tanggung jawab Muhammadiya dalam konteks nahi munkar,” pungkas Nadjib.

Sekedar diketahui, Din Syamsuddin di beberapa kesempatan kerap melontarkan kritikan terhadap pemerintahan Joko Widodo. Diantaranya soal Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia ( KAMI) yang dianggap pemerintah mengganggu stabilitas nasional sehingga aksinya sering dipadamkan. Atas tindakan itu Din mewakili Presidium KAMI menyuarakan pentingnya keterbukaan pemerintah dalam menghadapi kemunculan Ormas karena dilindungi undang-undang.

Kemudian soal UU Cipta Kerja. Din menilai pemerintah dan DPR terlalu tergesa-gesa mengesahkan aturan tersebut.

Teranyar, cendekiawan sekaligus mantan utusan khusus Presiden tersebut juga pernah memprotes pemerintah yang menuding KAMI sebagai dalang kerusuhan UU Cipta Kerja.

Berikut enam poin pelanggaran yang dituduhkan GAR-ITB terhadap Din Syamsuddin seperti dilansir dari berbagai sumber.

Pertama, Din dinilai bersikap konfrontatif terhadap lembaga negara dan keputusannya.

Kedua, Din dinilai mendiskreditkan pemerintah dan menstimulasi perlawanan terhadap pemerintah yang berisiko terjadinya proses disintegrasi negara.

Ketiga, Din dinilai melakukan framing menyesatkan pemahaman masyarakat dan menciderai kredibilitas pemerintah. Keempat, Din dinilai menjadi pimpinan dari kelompok beroposisi pemerintah.

Kelima, Din dinilai menyebarkan kebohongan, melontarkan fintah.

Dan keenam, Din dianggap mengagitasi publik agar bergerak melakukan perlawanan terhadap pemerintah.

Baca berita menarik lainnya hasil liputan
Editor
S. Ipul