LSM Temukan Kejanggalan dalam Proyek Sentra Slag Alumunium di Desa Bakalan Jombang

JOMBANG, FaktualNews.co-Proyek pembangunan lahan sentra slag aluminium di Desa Bakalan Kecamatan Sumobito, Jombang, memunculkan kontroversi.

LSM Forum Rembug Masyarakat Jombang (FRMJ) mengaku mencium atau menemukan kejanggalan dalam tahapan pembangunan proyek tersebut.

Koordinator FRMJ Joko Fattah Rochim, mengatakan, persoalan ini sudah sampai ke telinga dewan dan rencananya, pada Kamis (25/3/2021) besok akan digelar hearing atrau rapat dengar pendapat (RDP) di DPRD setempat.

Fattah membeber, sejumlah indikasi kejanggalan ini diduga terjadi di beberapa tahapan. Pertama, lahan yang digunakan untuk sentra slag alunium itu merupakan lahan yang dibeli oleh warga atau pengusaha alumunium setempat.

Ada sekitar 34 pengusaha yang rencananya akan menjadi anggota koperasi slag alumium itu. Setiap anggota diwajibkan membeli lahan degan harga per kapling cukup fantastis mencapai Rp 94 juta.

Namun yang menjadi tanda tanya, lahan tersebut kemudian telah dihibahkan dan menjadi milik pemerintah setempat, yang kini pengerjaannya berada di tangan dinas terkait.

“Nah ini yang masih membingungkan. Ada sekitar 34 pengusaha, ke depan akan jadi anggota koperasi yang setiap anggota diwajibkan beli lahan Rp 94 juta, tapi lahannya dihibahkan. Ke depan ini usahanya tidak bisa diwariskan kalau begini, beli tanah tapi tidak bisa memiliki, karena sudah dihibahkan ke pemkab,” ungkapnya.

Itu sebab, dia minta diperjelas lewat hearing. “Sebenarnya arahnya ke mana, itulah sebabnya kami minta hearing dengan dewan ini,” imbuhnya.

Tak hanya itu, Fattah juga mencium adanya ketidakberesan dalam proyek pembangunan sentra slag alumunium di Desa Bakalan itu.

Saat ini, lahan seluas sekitar 27.744 meter persegi itu dalam tahap pengurukan yang dikerjakan oleh CV. Bintang Sakti Utama asal Wonoasri, Madiun. Ada sebanyak 8 petak dengan luasan per petak sekitar 8,5 meter x 408 meter.

Namun, anggaran pengurukan yang menggunakan Dana Alokasi Khusus (DAK) tahun 2020 itu terbilang cukup fantastis, yakni senilai Rp 941 juta.

“Hampir Rp 1 milar hanya untuk pengurukan saja. Kami juga pertanyakan ini anggaranya turun di Dinas Lingkungan Hidup tapi yang mengerjakan kok Dinas Perdagangan dan Perindustrian,” bebernya.

Dengan kondisi ini, maka para pengusaha merasa nasibnya digantung. Sebab sejauh ini mereka belum mendapat kejelasan dimana Tempat Pembuangan Akhir (TPA) limbah B3 dari pengolahan industri alumunium itu ditentukan.

“Dulu waktu masih asosiasi, limbah dibuang juga mahal, sekarang oleh dinas kami tetal diminta kerja ditenpatnya masing-masing tapi diminta limbah tidak dibuang kemana-mana, ditutup dulu, endingnya bagaimans nanti, kami masih bingung, kami beli lahan, buat koperasi, rakyat kecil yang pengen punya usaha diminta beli tanah per kapling Rp 100 juta atau sekitar Rp 94 juta,” tandas salah satu warga yang enggan disebutkan identitasnya.