FaktualNews.co

287  Ton Jahe dari India dan Myanmar Dimusnahkan, Begini Kata Komisi IV DPR RI

Pertanian     Dibaca : 813 kali Penulis:
287  Ton Jahe dari India dan Myanmar Dimusnahkan, Begini Kata Komisi IV DPR RI
FaktualNews.co/Muhammad Lutfie Hermansyah
Petugas saat memeriksa 287,7 Ton Jahe impor yang hendak dimusnahkan di Kabupaten Mojokerto, Jumat (26/3/2021).

MOJOKERTO, FaktualNews.co – Sebanyak 287,7 Ton Jahe impor dari India dan Myanmar di Musnahkan oleh Kementerian Pertanian melalui Badan Karantina Pertanian (Barantan) di PT Hijau Alam Nusantara yang berada di Kecamatan Ngoro, Kabupaten Mojokerto, Jumat (26/03/2021).

Turut menyaksikan pemusnahan tersebut Wakil Ketua Komisi IV DPR RI Hasan Aminuddin.

Rempah senilai puluhan miliar itu diketahui terkontaminasi Organisme Pengganggu Tumbuhan Karantina (OPTK) Yo, busuk, dan masih mengandung tanah dari negara asalnya.

Proses pembakaran dilakukan dengan menggunakan alat berat. Kemudian di masukkan ke dalam tempat pembakaran.

Kepala Pusat Karantina Tumbuhan dan Keamanan Hayati Nabati, Adnan mengatakan,  sebenarnya untuk persyaratan impor telah memenuhi syarat administrasi.

Namun, setelah dilakukan pemeriksaan dilapangan oleh tim, ternyata ribuan jahe tersebut tidak semuanya bersih. Artinya, mengandung tanah.

“Bahwa tanah itu bisa membawa organisme pengganggu tumbuhan karantina yang di masukkan ke wilayah republik Indonesia,” katanya usai meninjau pembakaran jahe tersebut.

Tak hanya itu, Adnan menyampaikan, jika sampai organisme pengganggu itu masuk ke wilayah Indonesia yang lahan dan pertanian jahenya bagus, maka bisa menular dan berpengaruh terhadap produksi jahe di Indonesia.

“Untuk itu teman-teman yang ada di karantina ini menjaga hal itu. Supaya organisme pengganggu tumbuhan dari luar negeri apalagi yang belum ada di wilayah Indonesia tidak masuk, itu intinya,” tandasnya.

Ia menjelaskan, ribuan jahe tersebut sebenarnya layak dikonsumsi, tetapi tidak semuanya, karena hasil temuan dilapangan banyak ditemukan yang sudah terkontaminasi dan busuk.

Sementara Wakil Ketua Komisi IV DPR RI Hasan Aminuddin menyebut, yang salah terkait dengan pemusnahan ratusan ton jahe impor adalah Kementrian Pertanian.

Dikatakannya, pemusnahan jahe impor ini sebenarnya melukai rakyat. Membuat yang dimusnahkan merupakan makanan siap saji dan dibutuhkan oleh masyarakat ditengah pandemi Covid-19.

“Saya menyaksikan ini barang bisa dimakan. Namun dalam aturan atau ketentuan per undang-undangan ini barang salah. Apalagi ini ada MoU (kesepakatan) antar bangsa setiap barang yang masuk,” kata Hasan.

Menurutnya, pelanggaran ini banyak pihak yang salah , termasuk Kementan Republik Indonesia, karena tidak melakukan pembinaan.

“ini siapa yang salah? Semua salah. Kementan salah dalam hal ini tidak melakukan pembinaan yang intens. Pengusaha pun salah, tidak belajar semua aturan perundangan-undangan termasuk juklas dan juknisnya,” ungkap Hasan.

Sehingga,lanjut Hasan, upaya pemusnahan harus dilakukan agar supaya bangsa ini tidak dilecehkan oleh negara lain.

Sekertaris Barantan, Wisnu Haryana membeberkan, tindakan penolakan yang dilanjutkan dengan pemusnahan ini tentu sudah melalui kajian dan hasil analisa risiko.

“Tindakan terbaik guna menjaga produktivitas dan melindungi kelestarian sumber daya pertanian tanah air,” bebernya.

Menurut Wisnu , setelah dilakukan pemeriksaan fisik dan laborarorium oleh pejabat karantina tumbuhan komoditas segar asal impor ini tidak memenuhi persyaratan karantina serta berpotensi membawa hama penyakit tumbuhan sehingga dilakukan tindakan penolakan.

Masih menurut Wisnu, pemilik telah diperintahkan untuk segera mengeluarkan komoditas dari wilayah NKRI namun sampai dengan batas waktu yang ditentukan hal ini tidak dilakukan sehingga harus dilanjutkan dengan tindakan pemusnahan.

Pelaksanaannya dilakukan sesuai Pasal 45 dan 48 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2019 tentang Karantina Hewan, Ikan, dan Tumbuhan. Dan seluruh biaya pemusnahan menjadi tanggung jawab pemilik (Pasal 48 ayat 3), jelasnya.

“Kemampuan produksi jahe nasional harus kita jaga, jika terserang hama asal luar negeri yang belum ada sebelumnya maka potensi kerugian pada tingkat produksi ditaksir mencapai Rp 3,4 triliun. Ini belum termasuk biaya upaya eliminasi, yang bisa memakan waktu entah berapa tahun, dan biaya ekonomi lainnya yang harus ditanggung, inilah hitung-hitungan yang harus kita jaga,” tutur Wisnu.

 

Baca berita menarik lainnya hasil liputan
Editor
Muhammad Sholeh
Tags