NGAWI, FaktualNews.co – Kiai Haji Abdurrahman Wahid atau Gus Dur sangat dikenal memiliki kebesaran yang luar biasa. Tidak hanya dihormati di kalangan santri dan pesantren, Gus Dur juga sangat dihormati dikalangan luar pesantren bahkan di dunia internasional.
Tapi barangkali orang sebesar Gus Dur ternyata ‘memiliki’ kamar kecil sederhana yang hingga kini masih diabadikan sejak mantan Presiden RI itu masih kuliah.
Ya. Kamar kecil Gus Dur di pesantren yang juga kecil, Pesantren Salafiyah Baiturrahman, di Desa Beran, Kecamatan/Kabupate Ngawi itu masih terawat dengan baik hingga sekarang. Tidak ada yang diizinkan menghuninya sejak Gus Dur tidak lagi sowan secara fisik ke pesantren itu.
“Ini kamar khusus Gus Dur apabila sowan ke sini. Mulai dari sekolah sampai menjabat Presiden beliau sering ke pondok dan ini adalah kamarnya,” cerita Gus Farid, Pesantren Salafiyah Baiturrahman sambil menunjukkan kamar yang berpintu warna hijau, Selasa (27/4/2021).
Kamar yang selalu menjadi persinggahan mantan presiden RI tersebut ketika berkunjung di pesantren tersebut hingga saat ini masih nampak terawat. Pintunya selalu terkunci, kecuali hanya ketika dibersihkan.
“Kamar ini tidak ada yang menempati selain Gus Dur. Saat ini pun hanya dibersihkan saja, tetap dibiarkan kosong,” jelas Gus Farid, yang merupakan keturunan keempat dari pendiri pertama pesantren tersebut, Kiai Abduraahman.
Kiai Abdurrahman merupakan santri yang mondok di sebuah pesantren di Desa Kerten, Kecamatan Paron, Kabupaten Ngawi. Dia anak petani biasa, bukan dari keluarga kiai atau pesantren.
Pada sauatu saat di tahun 1817, Kiai Abdurrahman yang sudah boyong dari pesatren, memulai dakwah di kawasan Desa Beran, Kecamata/Kota Ngawi. Di lokasi yang hanya berjarak sekitar 5 kilometer dari pusat kota itulah Kiai Abdurrahman mendirikan pusat dakwah yang kemudian berkembang menjadi pesantren.
“Kami masih menjalani apa yang diamalkan oleh para sesepuh, kami tidak memungut biaya sama sekali kepada para santri yang mengaji di sini. Itu kita pertahankan sejak awal pendiriannya sampai sekarang,” jelas Gus Farid.
Menurut Gus Farid, lazimnya pesantren salaf, para santri yang memperdalam ilmu keagamaan di pesantren tersebut setiap hari digembleng dengan materi kitab-kitab klasik dan bersekolah di madrasah diniyah.
“Saat Bulan Ramadan seperti sekarang, para santri saling berlomba untuk khatam Al Qur’an dan menyelesaikan berbagai macam kitab yang dibacakan oleh ustaz atau gurunya,” ulas Gus Farid.
Ada tiga ustaz sepanjang hari, siang dan malam, mendampingi pembelajaran dan pembimbingan terhadap santri. Pembelajaran semakin diintensifkan ketika Bulan Ramadan.
“Kalau Bulan Ramadan begini, kita lebih banyak ke ngaji kitab,” terang Gus Farid.
Kajian kitab dalam sehari terbagi tiga kali waktu. Mulai dari selesai Salat Tarawih biasanya sampai waktu sahur. Kemudian pengajian dilanjutkan selesai Salat Subuh berjemaah hingga tiba waktu salat sunnah Duha. Begit seterusnya, pengajian tidak berhenti kecuali untuk istirahat siang, salah dan sehabis berbuka puasa.
“Jadi santri di sini kalau Bulan Ramadan bisa berkali-kali khatam,” urainya.