MOJOKERTO, FaktualNews.co – Beduk merupakan alat tabuh tradisional yang biasa didapati di masjid atau musala di tanah Jawa. Perkusi besar ditabuh oleh jemaah setiap ketika memasuki waktu salat.
Sebelum menabuh beduk, salah seorang jemaah biasanyanya menabuh kentung (Jawa: kenthongan), yang biasa ditaruh di samping beduk.
Entah mulai kapan alat kesenian beduk itu diadaptasi menjadi alat pertanda masuk waktu salat. Namun nyatanya, hingga sekarang alat itu masih tetap ada dan masih dipakai di kebanyakan masji, terutama ketika Salat Jumat.
Dulu para jemaah harus bekerja sama, bergotong royong untuk membuat beduk. Biasanya, mereka memanfaatkan kulit domba atau sapi yang diperoleh saat hari raya kurban. Sekarang tak lagi dijumpai aktivitas gotong royong membuat beduk.
Untuk mengganti beduk yang sudah usang atau mengadakan beduk untuk masjid baru, sekarang orang memilik untuk membeli. Tidak susah-susah membuat. Tinggal pesan seberapa besar ukuran yang diinginkan, bedug akan dikirim sesuai dengan perjanjian.
Misalnya Anda bisa datang ke Budi Nurcahyo, pengrajin beduk di Desa Kedungsari, Kecamatan Kemlagi, Kabupaten Mojokerto. Dengan dibantu oleh 6 pekerjanya, dia melayani pesanan pembuatan beduk dari seluruh daerah.
“Bahkan kalau Ramadan seperti ini, pesanan semakin banyak, bisa tiga kali lipat dari hari-hari biasa,” kata Budi Nurcahyo, kepada FaktualNews.co di tempat kerjanya, Kamis (29/4/2021).
Menurutnya, pesanan yang datang kepadanya berasal dari berbagai kota di Indonesia. Umumnya dari daerah Jawa Timur, tapi beberapa juga ada pesanan dari luar Jawa.
“Sudah pasti dari Jawa Timur, seperti kota-kota besar, Surabaya, Lamongan, Sidoarjo. Trus dari luar jawa pun juga banyak, Maluku, Papua, dan lainnya,” ujar Budi.
Soal usaha kerajinannya membuat beduk itu dia berkisah, mulanya dia tidak memiliki cita-cita sebagai pengusaha kerajinan bedug.
Pada saat berusia 25 tahun Budi bekerja sebagai tukang mebel. Namun karena alasan mebelnya tidak cukup laku dipasaran, maka ia memutuskan banting setir memulai membuat kerajinan bedug.
“Pada waktu itu persis tahun 2009 saya memulai membuat beduk,” ungkapnya sembari menambahkan bahwa sejak itu dia terus menekuni kerajinan beduk.
Untuk membuat beduk yang baik, Budi Nurcahyo memilih kayu jati sebagai bahan utamanya. Kayu Jati, jelas Budi, kuat dan lebih mudah dicari. Sementara untuk kulit, dia mengandalakan kulit sapi betina yang dia peroleh dari pemasok di Jombang.
“Kullitnya ini yang sulit. Saya tidak memilih sembarang kulit, harus kulit sapi betina dan bagus. Penjual jarang yang punya,” papar Budi.
Untuk menyelesaikan satu beduk, Budi Nurcahyo membutuhkan waktu antara dua pekan hingga satu bulan. Sangat tergantung ukuran, semakin kecil ukurannya maka semakin cepat waktu penyelesaian.
Di sentra pembuatan beduk ‘Langgeng’ milik Budi Nurcahyo itu, ukuran beduk terkecil berdiameter terkecil 40 sentimeter sementara yang terbesar adalah 250 sentimeter.
Namun demikian, waktu pengeringan satu kayu bahan baku bedug lebih lama dari waktu pembuatan. Paling tidak membutuhan waktu 5-8 bulan agar kayu benar-benar kering dan mampu mengeluarkan suara yang bening, lembut dan merdu.
“Yang lama kan proses pengeringannya itu kayu dan kulitnya itu. Makanya hasilnya juga awet. Beduk dengan kualitas kayu yang baik dan pembuatan yang tepat bisa bertahan samapi 30 tahun,” jelasnya.
Soal harga, jelas Budi, bervariasi sesuai dengan ukuran diameternya, berkisar antara Rp 9 juta hingga yang termahal Rp 150 juta. Harga tersebut sudah termasuk satu paket, yakni beduk dan kentung.