FaktualNews.co

Warga Pesisir Selatan Jember Wadul ke DPRD, Keluhkan Keberadaan Tambak Modern

Lingkungan Hidup     Dibaca : 1037 kali Penulis:
Warga Pesisir Selatan Jember Wadul ke DPRD, Keluhkan Keberadaan Tambak Modern
FaktualNews.co/hatta
RDP di Gedung DPRD bahas pencemaran lingkungan tambak modern

JEMBER, FaktuaalNews.co – Belasan warga dan nelayan pesisir pantai selatan Kecamatan Puger dan Gumukmas mengeluhkan rusaknya lingkungan dan ekosistem pesisir Desa Kepanjen, Kecamatan Gumukmas akibat adanya industri tambak modern, tambak udang, serta pengelolaan coldstorage di Desa Puger Kulon, Kecamatan Puger.

Keluhan itu terungkap saat rapat dengar pendapat (RDP) antara warga dan nelayan setempat dengan DPRD Jember di Gedung Parlemen, Senin (31/5/2021).

RDP dipimpin Wakil Ketua DPRD Jember Agus Sufyan, dihadiri ketua Komisi A Tabroni, Ketua Komisi B Siswono, dan Ketua Komisi C David Handoko Seto. Serta diikuti sejumlah anggota dewan dari masing-masing komisi.

Dalam kegiatan RDP yang digelar 3 Komisi di DPRD Jember itu, membahas soal keluhan kelompok masyarakat terkait rusaknya lingkungan dan ekosistem Pesisir Desa Kepanjen, Kecamatan Gumukmas akibat adanya Industri Tambak Modern (Udang Vaname), Tambak Udang, serta Pengelolaan Coldstorage (ICS) di Desa Puger Kulon, Kecamatan Puger.

Dalam RDP itu terungkap, keberadaan tambak dinilai meresahkan masyarakat dan dianggap menyebabkan terjadinya pencemaran lingkungan. Khususnya aliran sungai di wilayah setempat.

“Kami bersama kelompok forum masyarakat (Desa) Kepanjen, bicara soal dampak dari industri tambak modern. Terkait dampaknya secara ekologis, sosial, dan ekonomi,” kata Perwakilan Kelompok Forum Masyarakat Desa Kepanjen Muhammad Faqih saat dikonfirmasi usai RDP.

Ia menjelaskan, dampak yang dimaksud secara langsung, adalah soal pengelolaan air limbah dari keberadaan tambak modern di desa tersebut. Sehingga dinilai mencemari sungai dan juga mengganggu nelayan, serta lahan pertanian wilayah setempat.

“Karena dibuktikan dengan hasil tangkapan kecil dan sedikit dibanding kondisi air (laut) saat normal (tidak tercemar limbah dari keberadaan tambak modern). Jika ingin mendapat ikan dengan hasil tangkapan cukup banyak, harus ke tengah laut, yang hal ini membuat logistik harus lebih banyak, ditambah juga karena BBM banyak dipakai,” ungkapnya.

Menyoroti kendala dan persoalan ini, menurut pria yang juga menjabat sebagai Ketua PMII Cabang Jember itu, dianggapnya ada sisi regulasi yang dicederai.

“Yang menurut tata ruang wilayah Perda Pemkab Jember Tahun 2015 bahwa sepadan pantai itu kawasan lindung dan tidak diperuntukkan industri tambak,” katanya.

Selain itu, lanjutnya, juga ada beberapa wilayah sengketa lahan, ada pemasangan banner yang mencantumkan izin bupati. Yang diduga dilakukan oleh pengelola, atau pemilik tambak.

“Sehingga dikhawatirkan, ada potensi-potensi konflik horizontal. Yang bertentang dengan tata aturan RT/RW. Pemerintah harus mengambil tindakan mengenai sepadan pantai ini dan tidak merugikan masyarakat,” tegasnya.

“Apalagi khususnya instalasi pengelolaan air limbah,” sambungnya.

Sehingga pihaknya memberikan ultimatum, agar segera menghentikan seluruh aktifitas tambak ini.

“Tentunya selama masuk sepadan pantai, segera revisi perda RT/RW yang (harusnya), berpihak kepada masyarakat. Ada sebuah sorotan terhadap cara pengambilan keputusan mengenai Perda RT/RW itu, yang (harusnya) mengacu menteri ATR BPN Tahun 2017. Tapi ya tinggal pemerintah hari ini mau berpihak (kepada masyarakat) atau tidak,” ujarnya.

Senada dengan yang disampaikan Faqih, terkait keberadaan tambak juga mendapat tanggapan miring dari warga Desa Kepanjen.

Setyo menyampaikan soal kontribusi dari keberadaan tambak yang kurang. Terlebih menurutnya, juga banyak tambak yang izinnya mati di wilayahnya.

“Keberadaan tambak di Desa kami sudah ada sejak 1985, dan dimiliki oleh beberapa perusahaan besar, namun semuanya sudah gulung tikar, hanya ada satu perusahaan yang masih beroperasi yakni PT Delta Guna Sukses (DGS), selain itu, saat ini mulai tumbuh beberapa tambak baik yang dikelola oleh perorangan maupun investor, dan ironisnya tidak banyak dari pengelola tambak yang memiliki IPAL, sehingga limbahnya mencemari laut dan sungai,” ujar Setyo.

Akibat limbah itu, dibenarkan olehnya jika memberikan dampak dan kerugian bagi nelayan. Selain tentunya dampak lain, di wilayah pertanian sekitar.

“Bahkan akibat limbat dibuang secara sembarangan ini, saat ini nelayan merasa dirugikan, karena ikan di pantai yang ada di Desa Kepanjen mulai menjauh, sedangkan lahan pertanian juga tercemar, gara-gara ada tambak udang ini, air menjadi asin sehingga tidak bisa lagi ditanami,” ujarnya.

Menanggapi hal ini, Pimpinan RDP Wakil Ketua DPRD Jember Agus Sufyan akan melakukan sidak ke lokasi tambak yang dinilai meresahkan warga itu. Untuk melihat secara langsung keluhan yang dirasakan warga.

Lanjut Agus, pihaknya juga akan melihat HGU (Hak Guna Usaha) dari tambak, apakah sesuai dengan perizinan atau sudah mengalami perubahan.

“Hari Kamis nanti kami akan melakukan sidak, untuk melihat kondisi yang sebenarnya, serta untuk memetakan persoalan yang ada, apapun yang kami temukan nanti, akan kami bahas lagi di hearing (RDP) berikutnya,” ujar pria yang juga legislator dari PDI Perjuangan ini.

Sementara itu salah satu Perwakilan Pengelola Tambak Modern (Udang Vaname) Soleh mengatakan. Dirinya menegaskan jika pihaknya sudah mematuhi prosedur yang tepat dan sesuai aturan yang berlaku.

“Memang izin perikanan di perusahaan kami sudah mati dan harus diperpanjang, dan ini sudah kami lakukan 3 bulan sebelum izin perikanan kami habis, namun sampai saat ini, dari pemerintah Kabupaten dalam hal ini PTSP, masih belum mengeluarkan perizinan, mungkin karena pemerintah baru dan pejabat masih plt,” kata pria yang mewakili PT. Pandawa Lima.

Dengan adanya persoalan dan keresahan warga tersebut, Soleh pun memberikan saran, agar persoalah HGU tentang tambak ini dirubah.

Artinya aset negara yang sekarang di HGU untuk tambak, dijadikan aset desa. Sehingga proses perpanjangan lebih mudah jika HGU tersebut menjadi aset desa.

“Kalau mau, HGU yang ada ini dijadikan aset desa, pemdes mengajukan ke pemerintah daerah, sehingga retribusi bisa dirasakan pemerintah desa, itu kalau desa mau, jangan dikira kami tidak membayar retribusi, selama ini kami rutin setiap tahun membayar retribusi ke Pemkab, biar bisa dirasakan langsung oleh desa setempat, ya itu tadi, HGU dirubah menjadi aset desa,” tandasnya.

Baca berita menarik lainnya hasil liputan
Editor
Sutono Abdillah