SURABAYA, FaktualNews.co – Baliho bergambar petinggi PDI Perjuangan, Puan Maharani, bertebaran di setiap sudut Kota Surabaya. Belakangan menyusul pula baliho serupa yang menampilkan gambar petinggi partai lain, yakni Ketua Umum Golkar Airlangga Hartarto dan Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar.
Pengamat politik asal Universitas Trunojoyo Madura, Mochtar W Oetomo menyebutkan, ‘perang baliho’ petinggi partai politik di berbagai kota termasuk Surabaya, adalah bagian dari upaya partai politik dalam memperebutkan efek ekor jas (coat tail effect) untuk Pemilu 2024.
Efek ekor jas dapat dimaknai sebagai pengaruh figur dalam meningkatkan elektabilitas partai politik. Menurutnya, hal itu tak lepas dari fenomena yang terjadi pada Pemilu lalu. Dimana figur Calon Presiden (Capres) berpengaruh besar pada kemenangan partai di pemilihan umum. Misalnya terjadi pada 2004 dan 2009 dengan figur Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), serta 2014 dan 2019 dengan figur Joko Widodo.
“Ini kan tidak terlepas dari fenomena Pilpres sejak 2004. Dimana kultur Indonesia ini, partai kemudian menjadi sangat bergantung pada Capres. Jadi ini dampak dari adanya coat tail effect, kan gitu. Jadi partai yang punya Capres itu cenderung memiliki elektabilitas yang signifikan. Teruji sejak 2004, sejak SBY jadi presiden demokrat terdongkrak. Jokowi jadi presiden PDI Perjuangan terdongkrak,” jelas Mochtar dalam sambungan telepon, Rabu (04/8/2021).
Mochtar menambahkan, kisah sukses pada Pemilu sebelumnya tersebut menginspirasi sejumlah partai politik. Mereka kemudian ramai-ramai memunculkan tokoh partai maupun ketua umum untuk dijadikan figur Capres jauh sebelum pelaksanaan Pemilu 2024.
Walaupun dikatakannya, figur yang dimunculkan itu juga belum tentu bakal mendapat tiket pencapresan. Namun paling tidak langkah partai politik tersebut dapat memberikan insentif elektoral.
“Dengan masuk pusaran perbincangan, itu kan dengan sendirinya akan menaikkan rating (partai),” lanjut dia.
Sementara itu, efektivitas model pengenalan figur yang ditempuh partai politik dengan menggunakan baliho dinilai Mochtar, signifikansinya masih tergolong tinggi. Kultur masyarakat Indonesia saat ini cenderung menganggap seorang politisi atau kandidat yang dikenalkan melalui baliho, dipersepsikan mempunyai keseriusan mencalonkan.
Sebaliknya, jika model pengenalan disampaikan melalui media sosial, ujar Mochtar. Masyarakat mengartikan figur publik tersebut kurang serius dalam mencalonkan diri.
“Hari ini masyarakat Indonesia persepsinya kalau lewat Medsos-medsos itu dianggapnya belum terlalu serius,” katanya.
Selain itu, baliho merupakan sarana kampanye yang paling aman dilakukan di masa pandemi COVID-19 dibandingkan dengan turun langsung di lapangan menemui para konstituen.
“Sehingga pilihannya ya kemudian lewat media seperti baliho,” pungkasnya.