FaktualNews.co

Pandemi Berkepanjangan Memicu Gangguan Psikologis

Kesehatan     Dibaca : 683 kali Penulis:
Pandemi Berkepanjangan Memicu Gangguan Psikologis
FaktualNews.co/Istimewa
Ilustrasi. (forbes.com)

SURABAYA, FaktualNews.co – Berbagai pembatasan selama masa pandemi Covid-19 merupakan langkah global dalam mengurangi persebaran virus SARS-CoV-2 dan menekan angka korban penularan dan kematian.

Tak hanya di Indonesia, negara-negara dengan mobilitas penduduk yang tinggi, juga menerapkan pembatasan yang ketat. Salah satu protokol World Health Organization (WHO) dalam menekan penularan Covid-19 adalah social distancing atau phisycal distancing.

Lalu apakah dampak psikologis dan apa perubahan perilaku yang terjadi pada masyarakat akibat pandemi yang tak kunjung usai?

Dekan Fakultas Psikologi Universita Diponegoro Semarang, Dian Ratna Sawitri, di website Undip menyatakan, pada awalnya masyarakat dapat menerima pembatasan, bersabar dan berharap keadaan segera pulih.

Namun, ketika situasi wabah menjadi berkepanjangan, masyarakat gelisah hingga muncul beragam gangguan psikologis yang bisa dikelompokkan dalam tiga pola.

“Ada perubahan perilaku yang disebut protective behavior, preparedness behavior dan perverse behavior. Ketiga perubahan perilaku tersebut masing-masing memiliki implikasi yang bisa berujung pada gangguan psikologis,” kata Sawitri.

Kelompok pertama, protective behavior, adalah tindakan yang dilakukan individu untuk memenuhi aturan kesehatan dalam rangka menghentikan penyebaran penyakit.

Protective behavior mencakup personal hygiene dan social distancing. Personal hygiene diwujudkan berupa tindakan seperti menggunakan masker, mencuci tangan, menghindari makan di luar rumah, menyemprot desinfektan, memastikan kecukupan ventilasi udara di dalam ruangan.

Sedangkan social distancing dilakukan dengan menjaga jarak untuk menghambat penyebaran virus, menghindari kerumunan dan menunda bepergian.

Dalam konteks tertentu, social distancing juga diwujudkan dalam tindakan melakukan karantina mandiri ketika menyadari bahwa dirinya berinteraksi dengan suspek dan/atau pihak yang terinfeksi Covid-19 atau karena baru melakukan perjalanan jauh menggunakan angkutan umum.

Pembatasan hubungan sosial dan karantina, menurut Sawitri, dapat menimbulkan berkurangnya aktivitas fisik, munculnya perasaan sedih, terisolasi, bosan dan kesepian.

Kondisi itu, katanya mengutip Safai dan Sganga, membuka peluang meningkatnya prevalensi depresi, konsumsi alkohol dan obat-obat terlarang, adiksi atau kecanduan internet, dan kekerasan dalam rumah tangga.

Dia mengungkapkan, penyesuaian diri dalam pekerjaan seperti mempelajari hal baru dan menghadapi perubahan yang cepat, sering terjadi, dan drastis bisa menimbulkan implikasi yang serius.

Bentuknya bisa berupa menurunnya kepuasan kerja, bahkan meningkatnya burnout yaitu kondisi kelelahan fisik, mental, dan emosi yang dialami seseorang karena stress berlebihan dan berkepanjangan.

Penerapan work from home juga bukan hal yang sederhana. Diperlukan penyesuaian dengan situasi dan penghuni rumah.

Apalagi bagi yang memiliki anak usia sekolah, melakukan pendampingan terhadap anak yang sedang menghadapi situasi belajar yang baru sembari melakukan pekerjaan rumah tangga sekaligus, tak jarang membuat over exhausted (teler) dan tertekan.

Perubahan perilaku kedua, preparedness behavior, yaitu perilaku yang ditujukan untuk memastikan ketersediaan sumber daya yang dibutuhkan individu untuk dapat melakukan respon yang tepat dalam rangka menghambat dan menghentikan penyebaran virus.

Misalnya mencari informasi yang relevan tentang distribusi kasus, jumlah orang yang terinfeksi, intervensi yang telah dilakukan pemerintah, membeli hand sanitizer, masker, face shield, serta kebutuhan sehari-hari.

Diingatkan, mencari informasi seputar pandemic adakalanya membuka peluang munculnya kebingungan, ketidakpastian, dan kegelisahan.

Reaksi menjadi serius pada individu yang memiliki kepribadian pencemas, apalagi yang telah memiliki gangguan psikologis terkait kecemasan seperti takut terinfeksi virus, takut berkontak dengan objek yang diduga dapat menularkan virus, takut terhadap orang asing.

Pada orang dengan kepribadian seperti it akan muncul perilaku kompulsif seperti cuci tangan yang berlebihan, selalu membersihkan benda-benda yang akan disentuh, dan menyemprotkan disinfektan meski kondisi biasa.

Perubahan perilaku ketiga yang disebut perverse behavior adalah perilaku yang berbeda dari yang dianggap normal oleh masyarakat, seperti menghindari kunjungan ke rumah sakit dan terobsesi membeli obat-obat anti virus sendiri.

Kajian literatur yang dilakukan Usher dan kawan-kawan (2020) memberi gambaran, meskipun ketiga perubahan perilaku tersebut merupakan respon yang berkontribusi dalam menghambat penyebaran virus corona, ketiganya berkorelasi positif dengan meningkatnya kecemasan, meningginya kekhawatiran, dan semakin intensnya stres yang dialami individu.

 

Baca berita menarik lainnya hasil liputan
Editor
Muhammad Sholeh
Sumber
Website Undip
Tags