Peringatan Hari Pramuka, Inilah Sejarah Gerakan Kepanduan di Indonesia
JAKARTA, FaktualNews.co – Hari Pramuka, setiap tahun di Indonesia diperingati pada tanggal 14 Agustus.
Tahun ini, peringatan Hari Pramuka sekaligus menjadi momentum 60 tahun kiprah Gerakan Pramuka di Indonesia.
Pembentukan Gerakan Pramuka berlandaskan pada Keputusan Presiden Nomor 238 Tahun 1961 tentang Gerakan Pramuka.
Sementara itu, Hari Pramuka yang diperingati tiap 14 Agustus ditetapkan berdasarkan hari pelantikan Ketua Majelis Pimpinan Nasional Gerakan Pramuka pada 14 Agustus 1961.
Meski Gerakan Pramuka secara resmi baru lahir pada 1961. Namun gerakan kepanduan yang menjadi cikal bakal gerakan kepramukaan telah lama hadir, bahkan sebelum kemerdekaan.
Perjalanan Gerakan Kepanduan
Sebagaiamana dilansir Kompaspedia, 30 Juli 2021 lalu. Kemunculan gerakan kepanduan di Indonesia berawal dari dua orang tokoh organisasi kepanduan Belanda, Nederlands Padvinders Organisatie (NPO) yaitu P.Y. Smits dan Majoor de Yager.
Pada tahun 1912, kedua tokoh itu mendirikan cabang NPO di Jakarta. Awalnya diperuntukkan bagi remaja dan pemuda Belanda yang tertarik dalam kegiatan kepanduan.
Berselang dua tahun, yakni pada 4 September 1914, nama NPO diubah menjadi Nederlands Indische Padvinders Vereniging (NIPV) dan mulai menerima anggota remaja bumiputera.
Setelah itu, pada 1916, berdiri organisasi padvinderij nasional pertama bernama Javaanse Padvinders Organisatie (JPO) yang diprakarsai oleh Mangkunegara VII di Surakarta, Jawa Tengah.
Kelahiran JPO mendorong lahirnya berbagai organiasi sejenis yang bernaung di bawah organisasi kebangsaan dan keagamaan yang ada pada saat itu.
Misalnya Hizboel Wathan di bawah Muhammadiyah, Wira Tamtama di bawah Sarekat Islam, Nationale Padvinderij di bawah Budi Otomo, dan Jong Java Padvinderij di bawah Jong Java Mataram.
Terdapat kesamaan dalam gerakan kepanduan pada masa itu. Yakni bersikap pro atau mendukung kemerdekaan Indonesia dari jajahan Belanda.
Akan tetapi, sikap tersebut ditentang pemerintah kolonial Belanda yang akhirnya melarang organisasi kepanduan pro kemerdekaan untuk menggunakan nama “padvinder” dan “padvinderij”.
Pada 1928, salah satu tokoh nasional, Haji Agus Salim, akhirnya mengusulkan nama “Pandu” dan “kepanduan” untuk menggantikan nama yang dilarang Belanda.
Wacana peleburan
Wacana untuk melebur berbagai gerakan kepanduan di Indonesia menjadi satu wadah sebenarnya sudah ada sejak tahun 1928.
Akan tetapi, karena adanya perbedaan asas masing-masing organisasi. Maka upaya peleburan itu selalu menemui jalan buntu.
Meski demikian, terdapat beberapa organisasi yang merupakan gabungan dari beberapa gerakan Kepanduan, seperti Persaudaraan Antar Pandu-pandu Indonesia atau PAPI (1928) dan Kepanduan Bangsa Indonesia atau KBI (1930).
Pada 3 April 1938, PAPI dan KBI menggelar pertemuan di Surakarta, Jawa Tengah. Kemudian melatarbelakangi terbentuknya Badan Pusat Persaudaraan Kepanduan Indonesia (BPPKI).
Tiga tahun berselang, tepatnya pada 19-23 Juli 1941, Perkemahan Kepandoean Indonesia Oemoem (Perkino) I berhasil diselenggarakan di Yogyakarta.
Penyelenggaraan Perkino I kemudian diikuti Perkino II di Jakarta pada 6 Februari 1943. Meskipun pada saat itu dilarang pemerintah kolonial Jepang.
Setelah proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, berbagai organisasi kepanduan di Indonesia mengadakan kongres Kesatuan Kepanduan Indonesia di Surakrta, Jawa Tengah.
Kongres yang digelar pada 27-29 Desember 1945 itu menyepakati terbentuknya Pandoe Rakjat Indonesia pada 28 Desember 1945.
Pada 16 September 1951 lahir suatu federasi kepanduan dengan nama Ikatan Pandu Indonesia (IPINDO) yang bertindak sebagai badan yang mewakili Indonesia di dalam organisasi kepanduan sedunia untuk golongan putra.
Wacana peleburan organisasi kepanduan di Indonesia pun kian menguat, tatkala Presiden Soekarno menyampaikan gagasan tersebut ketika membuka perkemahan nasional federasi kepanduan putri di Desa Semanggi, Ciputat, Kabupaten Tangerang, pada 1959.
Pada 28 Mei 1960, IPINDO, Persatuan Kepanduan Puteri Indonesia (PKPI), dan Persatuan Organisasi Pandu Puteri Indonesia (POPPINDO) sepakat meleburkan diri ke dalam badan federasi baru bernama Persatuan Kepanduan Indonesia (PERKINDO).
Tak berselang lama, pada 3 Desember 1960, sidang MPRS membahas tentang Rencana Pembangunan Nasional Semesta Berencana, khususnya bidang kepanduan.
Hasilnya, terbit ketetapan MPRS No II/1960 yang menyatakan bahwa dasar pendidikan di bidang kepanduan adalah Pancasila dan rencana Pemerintah untuk mendirikan Pramuka.
Kelahiran Pramuka
Pada 9 Maret 1961, para pemimpin organisasi kepanduan di Indonesia dikumpulkan di Istana Merdeka untuk mendengarkan amanat presiden terkait ketetapan MPRS.
Dalam pidatonya, Presiden Soekarno meleburkan semua kepanduan Indonesia ke dalam satu organisasi baru yang diberi nama Gerakan Pramuka.
Tanggal 9 Maret selanjutnya dikenal sebagai Hari Tunas Gerakan Pramuka.
Pada 20 Mei 1961, Keputusan Presiden RI No 238 Tahun 1961 terbit dan ditandatangani oleh Ir Juanda selaku Perdana Menteri Indonesia.
Melalui keputusan tersebut, Gerakan Pramuka ditetapkan sebagai satu-satunya organisasi yang ditugaskan menyelenggarakan pendidikan kepanduan bagi anak-anak dan pemuda Indonesia.
Keppres tersebut juga memuat konsep Anggaran Dasar. Tanggal 20 Mei kemudian disebut sebagai Hari Permulaan Tahun Kerja.
Pada 30 Juli 1961 organisasi kepanduan berkumpul di Gelora Senayan dan berikrar untuk meleburkan diri ke dalam satu organisasi kepanduan yang bernama Gerakan Pramuka.
Tanggal 30 Juli kemudian dikenal sebagai Hari Ikrar Gerakan Pramuka.
Pada 14 Agustus 1961, Gerakan Pramuka resmi diperkenalkan kepada rakyat Indonesia.
Pada hari itu, Presiden Soekarno melantik Majelis Pimpinan Nasional (Mapinas), Kwartir Nasional (Kwarnas, dan Kwartir Nasional Harian (Kwarnari).
Tanggal 14 Agustus selanjutnya ditetapkan sebagai Hari Pramuka.