Analisa Kata Jancuk ala Surabaya, dari Pelukis Hingga Kamus Melayu
SURABAYA, FaktualNews.co – Masyarakat Jawa Timur, terutama kawasan arek meliputi Surabaya, Sidoarjo, Gresik dan sekitarnya tidak asing dengan kata ‘jancuk’. Umpatan kasar yang sering dilontarkan ketika seseorang sedang marah, merasa kesal atau saking bahagianya.
Banyak keterangan menyebut kata ‘jancuk’ berasal dari nama Jan Cox, seorang pelukis terkenal di Barat. Ia besar di Amerika Serikat dan Belgia. Lahir 102 tahun lalu, atau tepatnya tanggal 27 Agustus 1919. Kemudian wafat di usia 61 tahun, tanggal 7 Oktober 1980.
Nama Jan Cox dikenalkan ke Indonesia oleh sebuah tank milik tentara NICA (Nederlandsch Indië Civil Administratie) Belanda seri 5914. Kendaraan tempur ini dibawa ke tanah air untuk bertempur di Kota Surabaya.
Konon, tank itu identik dengan M3 Stuart varian M5A1, jenis tank ringan besutan General Motors, Amerika Serikat. Kata Jan Cox dicantumkan pada bagian kubah tank yang terdapat laras peluru. Fotonya pun beredar luas di berbagai media.
Tulisan ini kemudian dikait-kaitkan sebagai asal kata ‘jancuk’ yang sering diucapkan arek-arek Surabaya.
Ceritanya begini, kala pertempuran berlangsung, pihak Belanda sering menurunkan tank tersebut untuk mengintimidasi warga lokal. Intimidasi dilakukan pihak Belanda dengan cara memasuki gang-gang sempit di Kota Pahlawan. Sehingga setiap kedatangan tank ini, warga setempat selalu ketakutan dan memberitahukan kepada warga lain dengan berteriak “jancuk, jancuk…..,” penuh rasa dongkol merujuk pada nama tank itu.
Namun rupanya, foto jadul menampilkan tank Jan Cox milik tentara Belanda dan disebut-sebut diambil ketika berada di Kota Surabaya tersebut sebenarnya diambil di Kabupaten Garut-Jawa Barat pada tanggal 23 Oktober 1947.
Foto tersebut kini tersimpan rapi di Kearsipan Belanda (National Archief) dengan keterangan “Luitenant-generaal Dürst Britt (rechts) en kolonel Lentz kijken naar een Stuart… (Letnan Jenderal Dürst Britt (kanan) dan Kolonel Lentz melihat Stuart…)”.
Berdasarkan fakta tersebut, masyarakat Garut semestinya juga familier dengan kata ‘jancuk’.
“Jadi kalau mengikut nalar ceritanya, yang gemar berjancuk2 mestinya orang Garut. Bukan orang Surabaya, hehehe” tulis sebuah akun twitter @potretlawas, Jumat (5/7/2019).
Sebagai bentuk kritik sejarah, akun @potretlawas pun menganalisa asal muasal kata ‘jancuk’ dengan berbekal kamus Bahasa Melayu-Belanda. Menurutnya, ‘jancuk’ berasal dari kata ancuk dan hamput yang mempunyai arti senggama. Dari kata itu kemudian muncul kata pasif lain, yakni diancuk dan dihamput.
Pada kamus Melayu-Belanda yang dipublikasikan oleh Leiden E.J Brill tahun 1916 halaman 72, kata antjoek (dibaca ancuk) diartikan sebagai pasangan inti alias senggama. Persamaan kata dari antjoek adalah ampoet yang lebih datar pengucapannya.
“Kami pikir ini gejala bahasa yang paling logis untuk menjelaskan kata,” ujarnya melalui twit yang disampaikan.
Ia menegaskan, kata diancuk dan dihamput sebelum disingkat ‘jancuk’ sudah sering dipakai dalam dialog karya tulis tahun 60-an. Seperti pada novel Penerobosan Dibawah Laut karya Motinggo Busye (1964) dan Kimono Biru Buat Istriku karya Umar Kayam (1974).
Kalaupun kata ‘jancuk’ bermula dari nama pelukis Jan Cox yang dicantumkan pada tank Belanda. Waktu itu juga semestinya masyarakat tidak memanggilnya dengan frasa ‘jancuk’ seperti sekarang ini. Melainkan ‘yancuk’ sebagaimana ejaan Charles van Ophuijsen berlaku mulai tahun 1901 hingga 1947, dimana huruf J dibaca Y.
“Kenapa ada perubahan bunyi dari diancuk/diamput jadi jancuk/jamput? Bisa jadi eufemisme. Bahkan ketika jancuk masih dirasa kasar orang mengubahnya jadi jangkrik. Menghaluskan umpatan meski terdengar lucu, memang lazim ditemui. Asu misal jadi asem, bajingan jadi bajigur dst,” urai akun @potretlawas.
Akan tetapi, pendapat akun tersebut mengenai kata ‘jancuk’ justru disanggah oleh akun Twitter lain yang mengomentari ulasannya. Akun tersebut mempertanyakan kenapa hanya masyarakat Jawa Timur yang kerap menggunakan kata ‘jancuk’, padahal kata dia, Bahasa Melayu hampir dipakai masyarakat Indonesia bagian barat.
“Kenapa penyebarannya (jancuk) hanya di Jawa Timur atau Surabaya min? Di daerah banyak melayunya tersebar juga?” Tanya Yopi Rohiman.
Terlepas dari semua itu, kata ‘jancuk’ sekarang tidak sebatas sebagai simbol kemarahan, kekesalan melainkan juga bisa dipakai untuk menggambarkan rasa kagum dalam suasana keakraban. Yang biasa digunakan oleh kaum muda hingga dewasa di tempat santai. Misalnya di kafe, sekolah serta saat bekerja.