BONDOWOSO, FaktualNews.co – Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Kabupaten Bondowoso berencana mewajibkan para siswa berbahasa Madura halus di sekolah. Kebijakan ini pun menuai pro kontra.
Bahkan, para guru merasa kebijakan itu dilematis bagi mereka. Penyebabnya, tidak semua siswa di lembaga pendidikannya bersuku Madura.
Seperti yang disampaikan oleh Mulyono, Kepala SDN Gayam Lor 1 Bondowoso. Ia bahkan menilai bakal banyak muncul persoalan teknis di lapangan.
“Ketika seorang anak di rumah atau bahasa ibunya bahasa Jawa, ini kan juga jadi permasalahan. Ya tentunya dalam hal ini tidak dapat dipaksakan untuk berbahasa Madura,” kata Mulyono, Senin (30/8/2021).
Kendati demikian, kebijakan teknis itu harus dijalankan secara bijaksana di setiap lembaga pendidikan.
“Tergantung ke sekolah. Bagaimana memberikan kebijakan yang memberi ruang yang tidak pengap bagi anak-anak,” paparnya.
Ia mencontohkan dengan salah satu sekolah dasar di Kelurahan Kota Kulon, Kecamatan/Kabupaten Bondowoso. Dimana diketahui walaupun secara kedaerahan mayoritas etnik Madura, namun muatan lokalnya menggunakan bahasa Jawa.
“Ini perlu kroscek lagi. Jika dikaitkan dengan kebijakan wajib berbahasa ‘Engghi Bhunten’, lah ini kan juga sedikit dilematis,” ungkap Mulyono.
Menurutnya, persoalan-persoalan ini harus dicarikan solusinya nanti. Apalagi, kebijakan ini relatif baru dan tidak semudah membalik telapak tangan.
“Memang perlu ada kesepakatan-kesepakatan. Kita tetap bijak dengan situasi budaya yang ada, harus Arif sebagai guru dan bagi Disdikbud harus melihat situasi kongkret di lapangan,” pintanya.
Sebelumnya, Kepala Disdikbud Kabupaten Bondowoso Sugiono Eksantoso menerangkan, rencananya pada Oktober 2021 mendatang para siswa diwajibkan berbahasa Madura halus di sekolah setiap Jumat.
“Dalam rangka pendidikan karakter. Tiap Jumat anak-anak kita harus menggunakan bahasa Madura ‘Engghi Bunthen’ (Madura halus: Iya/Tidak). Wajib di kelas semuanya pakai ‘Engghi Bunthen’,” kata Sugiono kepada sejumlah media beberapa waktu lalu.
Ia menegaskan, kebijakan ini bukan merupakan bentuk diskriminasi kepada para siswa non suku Madura.
“Muloknya kan bahasa Madura. Yang Jawa ya Jawa. Tapi lihat muloknya sekarang. Wong ini orang Madura kok gak bisa bahasa Madura ‘Engghi Bunthen’,” sergahnya.
(Deni)