Merokok Dapat Meredakan Stres, Benarkah?
FaktualNews.co – Merokok terbukti dapat menimbulkan berbagai masalah kesehatan. Mulai dari penyakit paru-paru, jantung sampai kanker. Anjuran berhenti merokok pun mudah kita temukan di di ruang publik, layanan kesehatan, maupun media massa.
Kendati demikian, masih banyak orang yang terjerat kebiasaan merokok. Salah satu yang sering dijadikan adalah rokok dinilai mampu meredakan stres.
Dilansirdari halodoc.com, ketika seseorang merokok, nikotin mencapai otak dalam waktu sekitar sepuluh detik. Pada awalnya, nikotin meningkatkan suasana hati dan konsentrasi, mengurangi kemarahan dan stres, melemaskan otot dan mengurangi nafsu makan.
Namun, pada kenyataannya ini hanyalah efek sementara dan seseorang akan terjebak di lingkaran setan untuk merokok terus menerus.
Benarkah Merokok Bisa Meredakan Stres?
Dilansir dari laman Mental Health, penelitian membuktikan sebaliknya. Merokok justru meningkatkan kecemasan dan ketegangan. Nikotin menciptakan rasa relaksasi secara langsung, sehingga perokok berkeyakinan kalau nikotin dapat mengurangi stres dan kecemasan.
Perasaan ini bersifat sementara dan selanjutnya akan timbul gejala penarikan dan keinginan yang meningkat untuk merokok. Merokok mengurangi gejala penarikan, tetapi tidak mengurangi kecemasan ataupun stres.
Penggunaan nikotin lama kelamaan menyebabkan perubahan di otak, yang kemudian menyebabkan gejala penarikan ketika pasokan nikotin berkurang. Merokok untuk sementara mengurangi gejala penarikan ini dan karenanya dapat memperkuat kebiasaan tersebut.
Penelitian juga menunjukan kalau orang yang depresi dua kali lebih mungkin untuk merokok dibandingkan yang tidak depresi. Kebanyakan orang mulai merokok sebelum menunjukkan tanda-tanda depresi, jadi tidak jelas apakah merokok menyebabkan depresi atau depresi mendorong orang untuk mulai merokok.
Nikotin merangsang pelepasan zat kimia dopamin di otak. Dopamin terlibat dalam memicu perasaan positif. Pada orang yang depresi, kandungan dopamin dalam otaknya cenderung rendah. Alhasil, orang tersebut menggunakan rokok sebagai cara untuk sementara meningkatkan pasokan dopamin.
Namun, merokok justru mendorong otak untuk mematikan mekanisme pembuatan dopamin sehingga dalam jangka panjang pasokannya berkurang. Pada gilirannya, kondisi ini mendorong orang untuk merokok lebih banyak.