Sekda API Jatim : Layanan Pemerintah ke Petani Masih Minim!
SURABAYA, FaktualNews.co – Sekretariat Daerah Aliansi Petani Indonesia (Sekda API) Jawa Timur, Sugiono, menilai pelayanan pemerintah terhadap kepentingan kaum petani di tanah air, masih kurang alias minim.
Penilaian ini ia sampaikan sebagai bentuk refleksi peringatan Hari Tani Nasional yang jatuh setiap tanggal 24 September.
Menurutnya, ada dua hal yang menjadi cita-cita kaum petani di tanah air namun sampai saat ini belum terwujud.
Sehingga atas dasar itu ia menganggap, pemerintah kurang dalam melayani keinginan petani. Yakni yang pertama, soal kedaulatan pangan dan kedua mengenai reformasi agraria.
“Masalah agraria itu dari dulu itu, tidak ada titik temunya. Di Jawa Timur itu banyak tanah-tanah yang masih sengketa tapi belum ada titik temu bagaimana penyelesainnya. Terutama di bagian wilayah Malang, Lumajang itu,” ujar Sugiono lewat sambungan telepon, Jumat (24/9/2021).
Reformasi agraria dikatakan Sugiono selama ini kerap digembar-gemborkan Presiden Joko Widodo sebagai bentuk kebijakan pemerintah yang pro petani. Namun nyatanya hal tersebut sampai sekarang belum juga terwujud.
Begitu juga soal subsidi pupuk maupun pelatihan untuk pemberdayaan petani. Pria warga Bojonegoro ini menyebut, anggaran kebijakan-kebijakan itu justru sangat kecil karena kerap dikurangi, bahkan dihilangkan.
Sehingga ia menganggap kebijakan pemerintahan Joko Widodo jauh panggang dari api. “Karena mungkin masih lebih penting jalan tol, mungkin,” singkatnya.
Oleh karena itu Sugiono berharap agar pemerintah kembali memperhatikan nasib petani dengan membantu kebutuhan pupuk dan kembali menggelar pelatihan pemberdayaan kepada petani. Serta serius menuntaskan masalah sengketa lahan antara petani dengan pihak lain.
Penyelesaian sengketa lahan yang ia maksud, bukan berarti pemerintah harus menerbitkan sertifikat hak milik ke petani. Melainkan cukup menerbitkan bukti kepemilikan lahan secara komunal, supaya para petani bisa kembali leluasa menggarap lahan tanpa merasa terintimidasi demi kemandirian pangan.
“Sesuai gagasan kami, kepemilikan (lahan) secara komunal. Jadi tetap tanah itu menjadi milik negara,” tutupnya.