Nasional

Mbah Sumbowo dan Munshorif, Penggawa Pangeran Diponegoro Makamnya di Surabaya

SURABAYA, FaktualNews.co – Siapa yang tak kenal dengan Pangeran Diponegoro, pahlawan nasional yang mempunyai banyak pengikut. Salah satu pengikut setia pejuang asal Yogyakarta itu adalah Mbah Sumbowo dan Mbah Munshorif. Makamnya bisa ditemukan di Kota Surabaya.

Untuk mencari lokasinya tidaklah sulit, karena letaknya di area pemakaman Islam Kelurahan Rungkut Tengah, Kecamatan Gunung Anyar, Kota Surabaya. Tempatnya persis di sebelah barat jalan raya. Sebagai penanda, di pintu masuk pemakaman terdapat gapura dan papan nama yang dihias dengan tulisan berlafaz arab.

Begitu memasuki area pemakaman, peziarah langsung bisa menjumpai dua cungkup atau bangunan persegi dengan dinding marmer berpagar stainless steel serta beratap genteng. Di balik cungkup itulah, jasad Mbah Sumbowo dikebumikan pada 171 tahun silam. Sedangkan cungkup makam Mbah Munshorif, posisinya agak ke selatan.

Ketua Yayasan Kerukunan Kematian Kelurahan Rungkut Tengah, Haji Yusuf Arif (50) ketika berbincang bersama media ini mengatakan, Mbah Sumbowo maupun Mbah Munshorif semasa hidupnya memiliki hubungan erat dengan Pangeran Diponegoro.

Keduanya senantiasa berada di garda terdepan saat perang melawan penjajah Belanda.

“Konon Mbah Sumbowo itu masih satu komplotan, apa itu, satu grup ya. Satu binaan dengan Pangeran Diponegoro,” ujar Haji Yusuf Arif yang biasa akrab dipanggil Abah Arif ini kepada FaktualNews.co, Senin (27/9/2021).

Abah Arif kembali menceritakan, perpisahan kedua pengikut dengan pemimpinnya itu terjadi pasca kalah perang melawan Belanda Tahun 1830. Dimana Pangeran Diponegoro ditawan penjajah. Sehingga para pengikut Sang Pangeran menjadi kocar-kacir.

“Mbah Sumbowo itu lari dari Mataram sana ke berbagai daerah. Termasuk ya Mbah Zakaria (Eyang Jugo) yang makamnya ada di Gunung Kawi (Malang)” singkatnya sembari mengingat tentang kisah pengikuti Pangeran Diponegoro lainnya, yaitu Kanjeng Kiai Zakaria II.

Sebutan Mbah Sumbowo menurut Abah Arif adalah sekedar julukan. Karena sebenarnya Mbah Sumbowo memiliki nama asli seperti halnya Kanjeng Kiai Zakaria II yang berjulukan Eyang Soedjoego atau Eyang Jugo lantaran tinggal di Desa Jugo, Kabupaten Blitar.

“Memang julukannya Mbah Sumbowo. Entah dari (Pulau) Sumbawa sana, saya tidak tahu,” akunya.

Di Kota Pahlawan ini, dikatakan Abah Arif, Mbah Sumbowo maupun Mbah Munshorif cukup berperan dalam penyebaran agama Islam. Terutama bagi masyarakat Rungkut Tengah dan sekitarnya.

Meski waktu itu sudah ada pendahulunya, yakni Kiai Menanggal Sang Babad Alas di tiga wilayah-Kelurahan Rungkut Tengah, Kelurahan Menanggal, Kota Surabaya dan Desa Wadungasri, Kabupaten Sidoarjo.

Kiai Menanggal sendiri menurut perkiraan Abah Arif, sudah menetap 200 tahun sebelum kedatangan kedua penggawa Pangeran Diponegoro tersebut.

Karena begitu besar jasa mereka. Makam keduanya sering ramai menjadi jujugan para peziarah untuk sekedar berdoa maupun melakukan ritual keagamaan. Dan puncaknya jatuh pada malam tahun baru hijriyah atau satu suro.

“Dua pepunden itu sebagai tetenger dari warga Rungkut Tengah ini. Setiap Suroan kita rayakan haul beliau,” lanjutnya.

Pesona Mbah Sumbowo serta Mbah Munshorif tidak hanya melekat di hati masyarakat Rungkut Tengah Kota Surabaya. Melainkan juga bagi para pesohor negeri, diantaranya Presiden keempat Republik Indonesia, Almarhum KH Abdurahman Wahid alias Gus Dur.

Abah Arif mengatakan, semasa hidup mendiang Gus Dur setidaknya sudah dua kali berziarah ke Makam Mbah Sumbowo dan Mbah Munshorif, berbarengan ketika haul di gelar. Bahkan saking hormatnya, Gus Dur sering menyebut Abah Arif serta keluarganya sebagai Mbah Sumbowo.

“Waktu saya ngirim undangan ke Jakarta, saya ditanya (Gus Dur). Sinten niki, Haji Arif, Mbah Sumbowo nggeh,” akunya.

Pada kesempatan itu, pria yang juga menjabat sebagai Ketua Yayasan Pendidikan Miftahul Ulum Surabaya ini juga menceritakan, Mbah Sumbowo memiliki senjata pamungkas seperti Pangeran Diponegoro.

Bedanya, pusaka sakti milik Pangeran Diponegoro berupa Keris dengan sebutan Kiai Ageng Bondoyudo. Sedangkan pusaka sakti Mbah Sumbowo berupa tongkat sepanjang 120 centimeter yang terbuat dari logam kuningan.

Tongkat itu dikatakan Abah Arif, konon di hari-hari tertentu sering berpindah sendiri keluar dari ruang penyimpanan. Oleh karena itu, pihaknya sepakat memadukan tongkat Mbah Sumbowo dengan tongkat khatib salat Jumat pada Masjid At Taibin.

“Jadi sekarang kita taruh ke dalam pipa besi stainless steel, kita pakai untuk tongkat waktu kutbah salat Jumat,” pungkasnya.