Nasional

Jejak Kelabu Dua Walikota Surabaya yang Hilang Karena Dituduh Komunis

SURABAYA, FaktualNews.co – Deretan foto Walikota Surabaya dari tahun 1916 hingga 2021, terpampang di pintu masuk Museum Surabaya, Gedung Siola lantai satu, Jalan Tunjungan, Kecamatan Genteng, Kota Surabaya.

Dimulai dari foto walikota pada masa sebelum kemerdekaan, Mr A Meyroos (1916-1920), GJ Dijkerman (1920-1929), HJ Bussemaker (1929-1932) dan MHW Van Helsdingen (1932-1942) serta Takashi Ichiro yang berkuasa selama pendudukan Jepang, tahun 1942 hingga 1945.

Paska Indonesia merdeka, jabatan walikota selanjutnya jatuh ke tangan pribumi. Diawali dengan masa kepemimpinan Radjamin Nasution, Doel Arnowo hingga paling buncit, Tri Rismaharini yang kini menjabat sebagai Menteri Sosial.

Namun diantara deretan foto-foto itu, terdapat dua Walikota Surabaya yang jejaknya kelabu karena sampai kini tidak diketahui rimbanya. Mereka adalah Dr. Satrio Sastrodiredjo dan Moerachman SH, masing-masing menjabat pada 1958-1963 dan 1964-1965. Keduanya merupakan mantan orang nomor satu di Kota Pahlawan yang hidupnya berakhir tragis usai dinyatakan hilang karena dituduh berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI).

Walikota Dr. Satrio Sastrodiredjo

Menurut Arya Wirayuda dalam artikel Peran Partai Masjumi dalam Dinamika Perkembangan Demokrasi di Kota Surabaya 1945-1960 dijelaskan, Dr Satrio Sastrodirejo adalah seorang dokter lulusan Nederlandsch Indische Artsen School (NIAS), atau kini dikenal sebagai Universitas Airlangga.

Dr Satrio Sastrodirejo kemudian menjadi orang nomor satu di Surabaya menggantikan Raden Istidjab Tjokrokoesoemo, yang telah pensiun. Ia dipilih secara aklamasi oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) pada 11 Juni 1958. Dan merupakan calon tunggal yang diusung PKI bersama Baperki, Partai Katolik dan Parkindo dengan perolehan 20 kursi anggota dewan.

“Sidang secara aklamasi menetapkan Dr R Satrio Sastrodiredjo sebagai Walikota Surabaya periode 1958-1963,” tulis Arya.

Sayangnya sampai sekarang belum ditemukan sumber informasi jelas, yang bisa menceritakan tentang sepak terjang Dr Satrio selama memimpin Kota Pahlawan.

Setelah lima tahun menjadi Walikota Surabaya, Dr Satrio kemudian ditunjuk langsung oleh Presiden Soekarno berdasar usulan SOBSI (Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia) dan PKI, untuk menjabat sebagai Wakil Gubernur Jawa Timur mendampingi Mochamad Wiyono pada 31 Januari 1963. Jabatan Walikota Surabaya yang ditinggalkan lantas diisi oleh tokoh non partisan, Moerachman SH, pada November 1963.

Walikota Moerachman, SH.

Sementara menurut tulisan Pradipto Niwandhono berjudul Palu Arit di Kota Pahlawan Peran Sosial-Politik PKI di Surabaya Masa Demokrasi Terpimpin 1957-1966 dijelaskan, Moerachman adalah seorang walikota yang paling singkat memerintah Kota Surabaya serta paling kabur sejarahnya.

Sebab, informasi atau rekaman sejarah terhadap tokoh ini juga sangat minim. Sama hal dengan pendahulunya, Dr Satrio Sastrodiredjo. Diduga, minimnya informasi tentang mereka berdua karena pemerintahan masa orde baru waktu itu sengaja menghapus jejak para pejabat negara yang diketahui sebagai kader maupun simpatisan PKI.

Moerachman tercatat, lahir pada 25 November 1929 di Desa Benculuk Kecamatan Cluring Kabupaten Banyuwangi. Dia sempat mengenyam pendidikan SMA bagian B.

Pada masa revolusi kemerdekaan, Moerachman bergabung dengan Polisi Militer (1946), komandan Batalion 400 Tentara Pelajar di Besuki (1946/1947), komandan Operasi di Sektor TRIP daerah Gunung Argopuro dan Komandan Operasi Sektor III/a. Kes. Co. Kawi Selatan. Tepatnya pada masa agresi militer Belanda I dan II.

Moerachman kemudian kuliah di Fakultas Hukum Universitas Airlangga. Di kampus itu, ia sempat menjabat sebagai ketua senat mahasiswa kemudian sekretaris I dewan mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Airlangga. Dia aktif dalam satu organisasi CGMNI dan pernah memimpin delegasi Indonesia saat Konferensi Mahasiswa Asia-Afrika di Bandung tahun 1955.

Dalam pemilihan anggota DPRD propinsi Jawa Timur pada tahun 1958, Moerachman dicalonkan oleh PKI sebagai anggota dan berhasil terpilih. Meskipun secara resmi bukan anggota PKI, pengangkatan Moerachman adalah berdasarkan rekomendasi partai tersebut yang waktu itu begitu dominan di kota Surabaya sehingga presiden menyetujui rekomendasi tersebut dan mengangkatnya sebagai walikota.

Berbeda halnya dengan proses pemilihan walikota Dr Satrio yang melalui sidang DPRD, proses pemilihan penggantinya tersebut tidak melalui parlemen, melainkan ditunjuk sendiri oleh presiden Sukarno atas usulan dari pihak PKI.

“Moerachman (kemudian) menghilang dan tidak lagi diketahui keberadaannya, meski secara umum ia diduga ditangkap dan dibunuh oleh militer seperti halnya banyak orang-orang lain yang disinyalir sebagai simpatisan komunis,” tutupnya,” tutup Pradipto.