JOMBANG, FaktualNews.co – Dipa Nusantara Aidit atau biasa disebut DN Aidit, tidak banyak yang tak mengenal nama tersebut. Sebab, DN Aidit adalah salah satu tokoh Partai Komunis Indonesia (PKI).
Selain itu, ada juga nama Musso, Amir Syarifuddin, Alimin Prawirodirjo dan lain-lain. Mereka adalah sebagian tokoh yang dikenal dari PKI.
Namun siapa sangka jika ternyata cikal bakal PKI justru didirikan salah satu tokoh yang lahir dan besar di Kota Santri, sebutan untuk Kabupaten Jombang, Jawa Timur.
Namanya adalah Semaoen. Hanya satu kata seperti kebanyakan nama orang Jawa saat itu yang cukup singkat. Ia adalah anak dari Prawiro Atmodjo, seorang pegawai rendahan di perusahaan kereta api Belanda saat itu.
Semaoen lahir hingga remaja di Desa Curahmalang, Kecamatan Sumobito, Jombang, Jawa Timur 1899. Pada saat hidup di desa tersebut, Semaoen bukanlah anak yang menonjol di kalangannya. Sebagai anak pegawai rendah, ia besar sebagaimana anak kebanyakan di lingkungan desa setempat.
“Dulu rumah Semaoen ada di samping balai desa (Curahmalang) itu. Sekarang ya sudah tidak ada,” ujar Piyadi, salah satu saksi sejarah di Desa Curahmalang, saat ditemui merdeka.com pekan lalu.
Rumah Piyadi sendiri tidak jauh dari rumah Semaoen semasa kecil. Hanya terpaut rel kereta api yang melintang membelah Dusun Tegalan, Desa Curahmalang. Piyadi mengaku, saat mengenal Semaoen, ia masih berumur sekitar 12 tahun. Meski tidak mengenal secara dalam soal Semaoen, namun ia tahu jika Semaoen lahir dan besar di desa tersebut.
“Saya lebih mengenal salah satu kerabatnya saat itu. Namanya Pak Nur, rumahnya juga tidak jauh dari rumah Semaoen,”kisahnya.
Ia sedikit bercerita, saat meletusnya pemberontakan PKI pada 30 September 1965 silam. Semua orang atau warga desa tersebut telah menghilang atau bahkan sudah mati. Tidak terkecuali keluarga dan orang-orang yang masih berkerabat dengan Semaoen.
“Zaman itu kan zaman edan (gila). Semua orang yang dianggap masih ada hubungan dengan PKI, disuruh pergi, atau dipateni (dibunuh). Jadi sudah enggak ada sama sekali kerabatnya Semaoen di sini,” tambahnya.
Namun seperti halnya warga kebanyakan saat itu, kehidupan sosial Semaoen tidak jauh berbeda dengan warga sekitarnya. Tidak banyak yang bisa diungkapnya atas kehidupan Semaoen di Desa Curahmalang.
Hanya saja, secara ekonomi ia lebih beruntung dari anak-anak sedesanya. Ia sempat mengenyam pendidikan formal di sekolah setempat.
“Ia pernah mengenyam pendidikan setara sekolah dasar kalau sebutan sekarang. Dulu masih disebut Ongko. Ada Ongko siji dan Ongko loro. Semaoen sekolah Ongko Siji. Kalau Ongko Loro itu untuk anak golongan priyayi,” ujar Yusuf Wibisono, Pemerhati Sejarah di Jombang.
Yusuf yang juga wartawan senior di Jombang itu mengatakan, tidak banyak yang bisa diungkapkan soal kiprah kehidupan Semaoen di Kota Santri ini. Sebab, saat masih remaja, Semaoen sudah pindah ke Surabaya.
“Saya tidak menemukan literasi banyak soal kiprah kehidupan Semaoen di Jombang. Semaoen lebih dikenal saat ia sudah di Surabaya dan Semarang,” tambahnya.
Di Surabaya, Semaoen mulai berkiprah dalam dunia pergerakan di Sarekat Islam bersama dengan HOS Tjokroaminoto sekitar tahun 1914. Pemikiran-pemikiran Tjokro ini rupanya memiliki pengaruh yang cukup besar bagi Semaoen. Namun, tak berapa lama kemudian ia justru berkiprah di Semarang, Jawa Tengah.
Di kota ini, pada 6 Mei 1917, ia justru diangkat sebagai Presiden dari Sarekat Islam (SI) Semarang, yang sebelumnya dipimpin oleh Mohammad Joesoef.
“Semaoen diangkat sebagai presiden baru sewaktu masih berumur 19 tahun,” tulis Soe Hok Gie dalam bukunya yang berjudul Di Bawah Lentera Merah.
Gerakan Semaoen dalam berorganisasi di usia muda rupanya cukup masif. Hal ini terlihat dari keberhasilannya menguasai Harian Sinar Hindia yang kemudian berganti nama menjadi Sinar Djawa.
Di tempat ini ia menjadi pemimpin redaksi sekaligus merangkap redaktur desk politik. Kiprahnya di dunia jurnalistik bahkan kerap membuat telinga pemerintah memerah.
Pemikiran-pemikiran sosialis Semaoen, datang dari seseorang bernama Hendricus Franciscus Marie Sneevliet atau dipanggil Sneevliet. Ia merupakan ketua dari Indische Sociaal Democratische Vereeniging (ISDV). ISDV inilah, yang pada akhirnya menjelma menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI).
Sebelum berubah menjadi PKI, ISDV berubah nama menjadi Perserikatan Komunis di Hindia pada 23 Mei 1920. Berselang 7 bulanan kemudian, baru berubah nama menjadi Partai Komunis Indonesia, dimana Semaoen menjabat sebagai ketuanya.
Kiprah Semaoen yang dekat dengan para buruh kerap membuat pemerintah kolonial kelabakan. Hingga akhirnya, ia pun sempat dibuang ke negeri Belanda pada 1923. Namun, tiga tahun kemudian Semaoen pindah ke Moskow yang saat ini masih menjadi ibu kota dari Uni Soviet. Pada 1961, Semaoen lalu pulang ke Indonesia.
Di Indonesia, ia sempat mengajar di Universitas Padjadjaran, Bandung. Hingga pada 1971, Semaoen meninggal dunia. Semaoen sendiri semasa hidupnya diketahui pernah menikah dua kali.
Perkawinan pertama dengan seorang wanita Indonesia di Semarang. Sedangkan perkawinan keduanya bersama dengan seorang wanita asal Moskow dan dikaruniai 2 anak.