FaktualNews.co – Orangtua biasanya memberikan hukuman pada anaknya dengan harapan bisa mengurangi kemungkinan anak mengulangi lagi perbuatan tertentu.
Biasanya hukuman yang sering diberikan adalah mengambil sesuatu yang disukai anak, misalnya melarang anak bermain gawai atau tidak memperbolehkan si remaja keluar bersama teman-temannya.
Tetapi, dapatkah orangtua menggunakan hukuman negatif secara efektif? Dan jika itu adalah bagian dari pola asuh anak, bagaimana seharusnya hal itu diterapkan dengan lebih tepat?
Apa itu hukuman negatif?
Dilansir dari kompas.com, hukuman negatif adalah konsep penting dalam “teori pengkondisian operan” dari psikolog perilaku B.F. Skinner, yang dipelajarinya secara ekstensif pada 1930-an. Secara umum ini adalah metode pembelajaran yang menghubungkan perilaku dan konsekuensi, menggunakan reward serta punishment.
Namun, eksperimennya menggunakan tikus dan burung merpati, sehingga para ahli menilai kurang tepat jika diterapkan ke dalam dinamika emosional hubungan antara orangtua dan anak manusia.
Tetapi, dari sudut pandang perilaku secara mendasar, dia memahami bahwa penambahan, pengurangan, kesenangan, dan rasa sakit adalah semua variabel yang dapat diterapkan secara strategis untuk mengubah perilaku.
Psikiater di MindPath Care Centers, Dr Rashmi Parmar mengatakan dia mencoba untuk tidak memberi label konsekuensi sebagai hukuman karena itu dapat memberikan konotasi negatif dan tidak mengimbangi tujuan pembelajaran yang kita coba ajarkan kepada anak.
Ada perbedaan antara mengambil sesuatu dari anak dalam upaya untuk mengubah perilaku mereka dan mengambil sesuatu dari mereka karena kita ingin membalas mereka pada tingkat tertentu.
Jadi, orangtua sebaiknya tidak menggunakan hukuman negatif dalam upaya mengubah perilaku anak, tetapi lebih fokus dengan cara yang penuh dengan perhatian dan ketepatan.
Hukuman negatif yang harus dihindari
Orangtua harus memilih hukuman dengan hati-hati. Membatasi hak istimewa, misalnya, mengharuskan anak-anak tidak mengaksesnya melalui cara lain. Jika tidak, konsekuensi aslinya akan kehilangan maknanya.
Tidak hanya itu, kedua orangtua atau pun kakek nenek jika ikut mengasuh anak, harus memiliki kesatuan pendapat dalam membuat batasan untuk anak.
Cobalah mengenali pemicu perilaku negatif anak. Berempati dengan anak dan berikan dukungan, bahkan ketika kita sedang mencoba menerapkan konsekuensi atas perbuatannya.
Hukuman atau konsekuensi yang diberikan juga harus terkait dengan perilaku anak. Apabila kita mencoba membuat anak mematuhi batas main gawai, mengambil gadget mereka jauh lebih masuk akal daripada melarang secara acak kegiatan non-gawai atau melarang mereka bertemu teman.
“Saya menyarankan orangtua untuk menghindari mengambil hal-hal yang akan membantu anak-anak mengelola emosi mereka secara positif selama menjalankan konsekuensinya, misalnya menggambar atau memakai mainan favoritnya saat stres,” terang Dr Parmar
Menerapkan konsekuensi seperti itu dapat menyebabkan anak memendam perasaan yang keras terhadap kita.
Dan jika kita, sebagai orangtua, juga harus melewatkan acara penting itu untuk mengawasi anak di rumah, kita mungkin menabur benih kebencian terhadap anak kita.
Secara umum orangtua harus menghindari bentuk konsekuensi berupa melarang anak melakukan hobi atau kegiatan ekstrakulikuler seperti olahraga atau kelas drama.
Cara efektif menerapkan hukuman
Ketika menentukan hukuman yang tepat, tantangan pertama adalah membuat keputusan secara tenang dan rasional.
Sesuaikan juga dengan berat ringannya perilaku negatif yang ingin kita perbaiki. Menghukum anak remaja selama sebulan saat pertama kali mereka melanggar jam malam adalah tindakan yang berlebihan.
Hal yang berlebihan semacam itu bisa terasa pembalasan dan permusuhan, membuat anaktidak bisa belajar dari kesalahan mereka.
“Konsekuensi yang terlalu panjang juga menimbulkan bahaya anak teralihkan dari tujuannya dan akhirnya tidak peduli dengan konsekuensinya sama sekali,” ungkap Parmar.
“Jika anak merasa targetnya terlalu mustahil untuk dicapai dan tidak ada hal lain yang memotivasi mereka dalam jangka pendek, kemungkinan besar mereka akan menolak untuk berpartisipasi atau mengikuti arahan kita,” imbuh dia.
Menerapkan sikap disiplin yang efektif membutuhkan kejernihan pikiran yang mungkin sulit dipahami di saat emosi kita sedang meluap.
Lebih baik memberi diri waktu dan ruang untuk membuat keputusan yang bijaksana daripada membiarkan sikap impulsif membuat lebih banyak ketegangan antara kita dan anak kita.