JEMBER, FaktualNews.co – Harga komoditas pertanian jenis cabai dan terong di Kabupaten Jember di tingkat petani anjlok. Kondisi turunnya harga itu, dianggap kerugian bagi petani.
Pasalnya, di kala cuaca ekstream yang terjadi beberapa bulan belakangan di Jember, hasil panen cabai dan terong diharapkan untung, yang terjadi malah sebaliknya.
Ketua Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Jember Jumantoro, mengatakan, turunnya harga cabai dan terong di tingkat petani diduga karena daya beli masyarakat masih rendah, atau adanya informasi tentang fluktuasi harga yang tidak jelas.
“Dari monitor saya hari ini, ada di beberapa titik komoditas pertanian lagi terjun bebas harganya. Jadi seperti cabai rawit, cabai merah besar, dan beberapa sayuran yang lain seperti terong. Ini kurang menguntungkan bagi petani,” ujar Jumantoro, Minggu (31/10/2021).
Jumantoro menjelaskan, turunnya harga komoditas pertanian baik cabai ataupun terong itu cukup drastis dan dinilai merugikan.
“Seperti terong, hari ini harganya Rp 600 – Rp 1000 per kilogram, di tingkat petani. Sedangkan untuk harga cabai rawit berkisar Rp 5 hingga 7 ribu per kilogram. Kemudian cabai merah besar berkisar Rp 8 hingga Rp 11 ribu per kilogram. Ini sangat merugikan petani,” ungkapnya.
Jumantoro menyampaikan, harga ini tidak sebanding dengan upaya petani dalam melakukan kegiatan pertanian.
“Karena di kala cuaca panas ekstream berapa bulan belakangan, biaya produksi tinggi, ditambah adanya OPT (Organisme Pengganggu Tumbuhan) merajalela. Hasilnya tidak sebanding dengan yang kita dapat,” ujarnya.
“Mungkin ini juga salah satu rotasi dampak adanya corona dan sangat berdampak pada faktor ekonomi juga. Sehingga serapan komoditas pertanian sangat rendah,” imbuhnya.
Dengan kondisi tersebut, Jumantoro berharap, adanya perhatian pemerintah agar kondisi harga jual di tingkat petani menjadi lebih baik.
“Misalnya mempertimbangkan adanya pembatasan pengiriman suplai dari pulau Jawa ke luar pulau. Juga mungkin adanya akses informasi terkait kondisi pasar, mengenai harga komoditas pertanian,” katanya.
Sehingga dengan hal itu, menurutnya, petani bisa mempertimbangkan komoditas pertanian apa yang tepat untuk ditanam.
“Jadi petani bisa mengestimasi, mereka harus tanam apa, juga akses informasi pasar itu, dapat meminimalisir terjadinya disparitas (perbedaan, red) harga yang terlalu tinggi. Antara petani dan pedagangnya. Misalnya (yang terjadi saat ini), dari petani harganya 7 ribu, dan di pedagang bisa jadi harganya menjadi 15-20 ribu,” ungkapnya.
Menurutnya, akses informasi harus difasilitasi oleh pemerintah daerah. Sehingga bisa diketahui pembaharuan informasi harga dari komoditas pertanian.
“Update harga setiap harinya. Ditingkat pengepul, ditingkat petani, maupun digrosir itu berapa. Sehingga paling tidak petani bisa tahu harga di komunitas pertanian per harinya,” sambungnya.
Terkait update harga itu, sambungnya, tidak hanya di tingkat Dinas saja, melainkan Tentunya juga bisa lewat media sosial.
“Baik itu FB, Telegram, WA. Sehingga update informasi pasar itu bisa diketahui petani. Ini bukan tugas dari Dinas Pertanian saja, tetapi juga Dinas Perdagangan dan Dinas Pasar,” tandasnya.