Peristiwa

UMK Banyuwangi hanya Naik Rp 14 Ribu, Buruh Kecewa Berat

BANYUWANGI, FaktualNews.co – Upah Minimum Kabupaten (UMK) Banyuwangi tahun 2022 yang hanya naik Rp 14 ribu, dikecam para buruh yang tergabung dalam Federasi Serikat pekerja metal Indonesia (FSPMI) Banyuwangi.

Menurut Ketua FSPMI Khoirul Anwar Arif tingkat kenaikan Rp 14.000 tersebut masih jauh dari kata layak.

“Bagi kami kenaikan kali ini sungguh jauh dari kata layak, jauh dari perikemanusiaan apalagi kesejahteraan sangat jauh dari kata sejahtera,” katanya (1/12/2021).

Dikatakan, para buruh kecewa dengan adanya putusan UMK tahun ini. Pasalnya, pemerintah masih menggunakan PP 36 Tahun 2021 dalam menentukan upah. PP 36 Tahun 2021 merupakan aturan turunan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

“Padahal UU 11 Tahun 2020 sudah ditangguhkah oleh MK, bahwa UU 11 Tahun 2020 ini di klaster ketenagakerjaan itu cacat formil, seharusnya diperbaiki dalam jangka waktu dua tahun,” kata Anwar.

“Amar putusannya juga sudah jelas di poin 1-9, tapi masih saja pemerintah menggunakan undang-undang ini untuk dasar penetapan upah,” imbuhnya.

Dia menyayangkan formula penetapan upah di Banyuwangi masih menggunakan PP 36 Tahun 2021. Padahal di Jawa Timur ada lima kabupaten yang tidak menggunakan PP tersebut. Yakni Surabaya, Mojokerto, Sidoarjo, Pasuruan, Gresik.

“Apa bedanya sama-sama di Jawa Timur ini. Di ring 1 (lima kabupaten) itu naik 1,74 persen, di luar kabupaten itu tidak ada yang naik sampai 1 persen, lainnya adalah nol koma. Di mana keadilannya,” ungkapnya kecewa.

Menurut Anwar, jika tiap tahun UMK naik tidak sampai 1 persen, maka disparitas upah di Jatim akan semakin melebar antara ring 1 dengan di luarnya.

“Di kabupaten selain ring 1 kenapa hanya nol koma, kan sama-sama di Jawa Timur. Seharusnya kalau di ring 1 saja 1,74 disama ratakanlah,” pinta mereka.

Dikarenakan UMK tahun 2022 telah ditetapkan Gubernur Jatim, pihaknya hanya bisa pasrah. Namun untuk tahun 2023, mereka meminta dalam menentukan upah, pemerintah tidak lagi memakai PP 36 tahun 2021.

“Tetapi memakai PP 78 Tahun 2015 tentang pengupahan. Karena UU Omnibus Law ini ditangguhkan oleh MK. Kita akan menurunkan massa yang banyak di tahun 2023 jika penetapan upahnya masih menggunakan PP 36 Tahun 2021,” pungkasnya.