SIDOARJO, FaktualNews.co – Sidang tindak pidana penyalahgunaan wewenang yang mendudukkan Bupati Nganjuk non aktif, Novi Rahman Hidayat mengagendakan pembacaan nota keberatan (pledoi) atas tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Eko Baroto dari Kejagung RI, serta Andie Wicaksono dan Sri Hani Susilo dari Kejari Nganjuk.
Dalam nota pembelaan setebal 100 halaman ini menyebutkan banyak kejanggalan yang dirasakan tim kuasa hukum Novi Rahman atau tuntutan tinggi yang diajukan JPU pada Novi. Terlebih dalam pertimbangan JPU juga terkesan kontradiktif dengan fakta persidangan yang ada.
Terkait barang bukti misalnya, salah satu tim kuasa hukum Terdakwa, Tis’at Afriyandi dalam pledoinya menyebut bahwa dalam salah tuntutan yang diminta oleh JPU adalah barang bukti sebesar Rp 11 juta yang disita dikembalikan lagi ke saksi Jumali.
“Hal itu sangat aneh, awal mula terjadinya OTT dimulai dari pengungkapan saksi Jumali yang diduga akan menyerahkan uang sebesar Rp 11 juta kepada Dupriono selaku Camat Pace yang katanya akan diserahkan kepada Novi, tetapi mengapa Jaksa Penuntut Umum dalam requisitornya meminta uang tersebut dikembalikan lagi kepada saksi Jumali,” ujar Tis’at dalam pledoinya.
Dalam pledoi kuasa hukum tedakwa juga disebutkan bahwa penangkapan terhadap terdakwa juga sama sekali tidak memenuhi unsur tertangkap tangan karena tidak sedang melakukan tindak pidana ataupun sesaat kemudian diserukan sebagai orang yang melakukan atau menerima uang padahal kenyataannya terdakwa tidak pernah menerima uang dari siapa pun sebagaimana didakwakan oleh JPU.
Terpisah, kuasa hukum Novi yakni Ari Hans Simaela usai mendampingi terdakwa Novi di Rutan Kejati Jatim menyatakan apabila melihat tingginya tuntutan JPU serta pertimbangan yang disampaikan jelas adanya upaya kriminalisasi terhadap Novi.
“Sudah jelas bahwa di persidangan jaksa gagal membuktikan dakwaannya. Dari rentetan saksi yang dihadirkan jaksa tak ada satu pun menyebut bahwa Pak Novi meminta uang ataupun menerima suap,” ujar Ari.
Selain itu, lanjut Ari, ajudan Novi yakni Izza Muhtadin dalam persidangan juga mengakui bahwa dirinyalah yang menerima uang tersebut. Bahkan uang tersebut juga diakui sudah dibelikan mobil, merenovasi rumah dan dipergunakan untuk keperluan pribadi lainnya.
“Tapi fakta itu dalam tuntutan jaksa sama sekali tidak dipertimbangkan lagi,” ujarnya.
Yang menjadi aneh lagi lanjut Ari, terkait permohonan JPU dalam tuntutannya bahwa uang Rp 11 juta dikembalikan kepada Jumali.
Menurut Ari itu sangatlah aneh dan tidak lazim. “Penangkapan Jumali yang menjadi akar atau awal permasalahan ini, tetapi Jumali tidak pernah dijadikan tersangka. Ditambah lagi permintaan jaksa untuk mengembalikan uang 11 juta yang yang disita kepada sang pemberi suap apa tidak aneh. Ada apa dan siapa di balik perkara Pak Novi?” tanyanya.
“Secara tidak langsung jaksa kan mengakui bahwa tindak pidana suap itu tidak ada, buktinya Jaksa dalam tuntutanya meminta agar barang bukti dikembalikan ke Jumali yang notabenenya dia adalah orang pertama yang diamankan dalam dugaan suap ini,” ujar Ari.
Dengan adanya keanehan dan kejanggalan dalam pertimbangan tuntutan JPU, Ari merasa bahwa JPU terkesan sangat menggebu-gebu ingin memenjarakan Novi. “ Siapa yang sebenarnya ingin Pak Novi dipenjara?,” ujar Ari.
Perlu diketahui, JPU menuntut pidana penjara selama sembilan tahun pada Novi yang dianggap terbukti menerima suap dan jual beli jabatan dengan barang bukti yang disita Rp 11 juta.