Bukan Harta Karun, Walhi Jatim: Lumpur Lapindo adalah Kutukan Panjang
SURABAYA, FaktualNews.co – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Jawa Timur (Walhi Jatim) menyoroti soal anggapan lumpur Lapindo di Porong – Sidoarjo menyimpan harta karun tersembunyi.
Menurut Direktur Eksekutif Walhi Jatim Wahyu Eka, lumpur Lapindo bukan harta karun mengandung berkah. Melainkan kutukan panjang bagi masyarakat sekitar.
Bila melihat pada peristiwa kemunculan lumpur Lapindo, Wahyu Eka mengatakan, bencana itu terjadi bukan karena faktor alam melainkan akibat aktivitas pengeboran minyak dan gas bumi milik Lapindo Brantas hingga menimbulkan semburan dan menenggelamkan kawasan industri, area pertanian hingga pemukiman warga.
“Jikalau dahulu tidak dibor, mungkin wilayah tersebut masih sama (sebagai) kawasan industri, kawasan pertanian dan warga bisa hidup damai,” kata Wahyu Eka, Kamis (3/2/2022).
Dampak semburan lumpur Lapindo dikatakannya, masih dirasakan sampai sekarang. Lalu kemudian muncul pernyataan Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang menyebut lumpur Lapindo mengandung logam tanah jarang (rare earth) benilai tinggi.
Tentu saja menurut Wahyu Eka, pernyataan itu justru tidak patut karena bisa memicu aktivitas penambangan baru yang bakalan menambah panjang kutukan masyarakat sekitar.
“Memicu kerentanan-kerentanan baru. Karena posisi munculnya lumpur Lapindo itu hingga sekarang masih menyisakan problem. Pertama ada semacam eksklusi atau peminggiran orang, terus dampak kesehatan, terus dampak akses terhadap air hingga persoalan-persoalan sosial lainnya,” ujar dia.
Wahyu Eka menilai, pernyataan ESDM seakan bentuk tutup mata pemerintah atas persoalan masyarakat sekitar lumpur Lapindo Sidoarjo yang belum juga tertangani dengan baik selama belasan tahun. Seperti gangguan kesehatan masyarakat karena terus menerus terpapar logam berat.
Sehingga menurutnya, lucu bila pelbagai pihak belakangan sibuk membicarakan tentang harta karun lumpur Lapindo namun di sisi lain hidup masyarakat sekitar sangat rentan dengan adanya bencana tersebut.
“Kalaupun mereka akan melakukan penambangan disana (lumpur Lapindo) dan menganggap bahwasanya itu komoditas, itu salah kaprah. Disana itu adalah bencana yang seharusnya dipulihkan, bukan malah ditambah beban lagi begitu. Itulah kenapa kami mengatakan bahwa itu sebuah kutukan,” katanya.
Wahyu lalu menjabarkan bila pihaknya juga pernah menggelar penelitian pada lumpur Lapindo di Sidoarjo sejak tahun 2006 sampai tahun 2016.
Hasil penelitian itu terungkap, lumpur Lapindo memiliki kandungan logam berat jenis Kadmium rata-rata sebesar 0,30 mg/L, dan Timbal sebesar 7, 2876 mg/L. Kandungan ini ratusan kali lebih besar di atas ambang batas aman bagi lingkungan sebagaimana Keputusan Menkes Nomor 907 Tahun 2002.
Kemudian pada riset lanjutan tahun 2016, logam berat juga ditemukan pada tubuh biota udang di Kali Porong dimana sebagai tempat pembuangan lumpur Lapindo. Juga ada kandungan timbal sebesar 40 hingga 60 kali diatas ambang batas yang diperbolehkan.
Dan kandungan Kadmium (Cd) 2-3 kali di atas ambang batas yang diperbolehkan pada sumur warga Gempolsari Kecamatan Tanggulangin dan Glagaharum di Kecamatan Porong Kabupaten Sidoarjo.
“Hasil riset itu kami kolaborasikan dengan faktor dampak sosial dan situasi terkini memang ada perubahaan secara kuantatif begitu, mulai dari air baunya berubah, warnanya juga berubah. Dan ini jadi bukti bahwasanya, memang ada bencana pencemaran yang dihasilkan dari bencana lumpur Lapindo dan itu sifatnya masif dan meluas,” pungkasnya.