SURABAYA, FaktualNews.co – Sapta Darma, satu di antara aliran kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang sudah ada sejak tahun 1952. Disebarkan oleh seorang warga Kediri, Hardjosapoera. Di Surabaya, kerohanian ini dianut sekitar lima ribu pengikut.
Sabtu (12/2/2022) malam, sambil diiringi rintikan hujan, media ini berkunjung ke sebuah tempat peribadatan Sapta Darma di Jalan Jemursari Selatan VI Nomor 35, Kecamatan Wonocolo, Kota Surabaya.
Tempat itu bernama Sanggar Candi Busana. Untuk menemukannya tidaklah sulit, selain berdekatan dengan Gereja Kristen Indonesia (GKI) Jemursari, bentuk bangunan berupa pendopo dengan pintu utama gapura juga menjadi ciri khas.
Sebagai penanda, di halaman sanggar terdapat patung semar kelir putih menghadap ke arah timur. Posisi sanggar juga gampang ditemukan lantaran terletak paling ujung komplek pemukiman berjarak hanya beberapa meter dari Kantor BPB Linmas Pemkot Surabaya.
Jumingan (49), pemuka aliran yang dikenal sebagai Tuntunan Kerohanian Sapta Darma (KSD) Kecamatan Sukolilo, Kota Surabaya menuturkan, Sapta Darma sejatinya adalah agama. Namun oleh negara masih dianggap sebagai budaya kerohanian karena tidak mempunyai nabi dan kitab suci.
Sebab itu, urusan kelompok penghayat ini berada di bawah tanggung jawab Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, bukan pada Kementerian Agama.
“Karena ketetapan peraturan dari pemerintah adanya Undang-Undang PNPM yang penodaan agama itu kan dasarnya ada nabi, ada kitab. Akhirnya kita milih ke aliran kerohanian. Di dalam aliran kepercayaan itu ada tiga, kebatinan, kejiwaan dan kerohanian. Sapta Darma kerohanian,” ujar Juminan saat berbincang dengan FaktualNews.co
Ia menjelaskan kehadiran Sapta Darma sama seperti agama lain, semata-mata menyelamatkan hidup manusia agar bahagia dunia sampai masa kelanggengan (akhirat). Sapta Darma tidak mengenal nabi lantaran, Hardjosapoera, si penerima wahyu, tidak mau disebut sebagai nabi melainkan Bapa Penuntun Agung Sri Gutama, bermakna Pelopor Budi Luhur.
“Garis besarnya, Sapta Darma itu mengajarkan keluhuran budi. Kalau masalah ritualnya, tata caranya ya mengajarkan panembah kepada Yang Maha Kuasa,” lanjutnya.
Di Surabaya, pegawai salah satu perusahaan pemerintah ini menyebut ada sekitar 1.200 kepala keluarga menganut Sapta Darma, kalau dijumlah kurang lebih sebanyak lima ribu pengikut. Umat Sapta Darma menamakan diri sebagai ‘warga’. Mereka biasa berkumpul di 27 sanggar se-Kota Surabaya untuk beribadah, istilahnya sanggaran.
Malam itu, warga Sapta Darma Sanggar Candi Busana hendak melakukan sujud. Sebuah cara mendekatkan diri kepada Sang Pencipta. Sujud dimulai tepat pukul 20.00 WIB, dengan sikap duduk menghadap ke timur sambil mata terpejam beralaskan kain kafan berukuran satu meter persegi yang direntangkan dengan posisi ketupat.
Tangan bersedekap membentuk simpul pada dada laiknya salat, lengan kanan menutupi lengan kiri. Sedangkan kedua kaki bersila dengan kaki kanan berada di atas.
“Sujud wajib dikerjakan sekali dalam sehari pada waktu senggang. Karena menghadap Allah tidak boleh buru-buru, utamanya malam hari karena kalau siang untuk urusan jasmani. Minimal sehari semalam minimal satu kali, lebih dari sekali lebih utama,” kata Jumingan.
Disela ritual, salah seorang jemaah melantunkan tembang Jawa berjudul Dhandhanggula. Menurut Jumingan, tujuan lantunan ini sebagai sarana mempercepat (meleremkan) pikiran gagasan dan angan-angan atau sumeleh (berserah diri, rela dan ikhlas).
Usai itu, nampak satu persatu dari mereka membungkukkan badan tanpa merubah posisi hingga kening menyentuh permukaan kain kafan. Gerakan ini berulang tiga kali dengan doa berbeda di setiap gerakan.
Waktu masih duduk sebelum bungkukan pertama membaca ‘Allah Hyang Maha Agung, Allah Hyang Maha Rokhim, Allah Hyang Maha Adil’. Lalu sujud pertama melafazkan ‘Hyang Maha Suci Sujud Hyang Maha Kuasa’ sebanyak tiga kali.
Lafaz pada sujud kedua ‘Kesalahane Hyang Maha Suci Nyuwun Ngapuro Hyang Maha Kuasa’ juga sebanyak tiga kali dan sujud terakhir mengucapkan ‘Hyang Maha Suci Mertobat Hyang Maha Kuasa’ sebanyak tiga kali.
Setelah sujud selesai, satu per satu Warga Sapta Darma kembali menuju ke sayap pendopo untuk bercengkerama sambil menyiapkan sanggaran peringatan malam turunnya wahyu racut yang jatuh di setiap tanggal 13 Februari. Yakni momen ketika Hardjosapoera menerima wahyu kedua berupa pandangan alam abadi setelah kematian atau mati dalam hidup.
Diceritakan Jumingan, Hardjosapoera telah menerima tiga kali wahyu. Wahyu pertama tanggal 27 Desember 1952, ketika itu Hardjosapoera tengah tertidur tiba-tiba digerakkan oleh kekuatan yang memaksanya sujud dari pukul 01.00 hingga 05.00 WIB. Wahyu ini disebut Wahyu Sujud.
Kemudian tanggal 13 Februari 1953, Hardjosapoera kembali menerima wahyu pada pukul 10.00 WIB. Wahyu kedua ini diberi nama Wahyu Racut. Mengabarkan tentang kewajiban manusia untuk mengetahui dan melihat alam abadi setelah kematian. Di situ ada tuntunan kepada roh yang meninggal menuju surga sesuai darma dan amalannya.
Wahyu terakhir diterima Hardjosapoera pada 12 Juli 1953 siang. Isinya berupa tuntunan hidup wewarah tujuh (tujuh perintah), sesanti (semboyan) dan simbol manusia yang digambarkan dalam bentuk belah ketupat hijau bertuliskan aksara jawa berbunyi nafsu, budi, pakarti. Ketiga unsur inilah yang membedakan manusia dengan hewan.
“Nafsu, budi, pakarti adalah karunia Allah kepada manusia yang membedakannya dengan hewan dan tumbuhan yang tidak memilliki ketiga-tiganya,” ucap Jumingan.
Juga terdapat garis lingkaran empat warna mewakili nafsu manusia. Warna hitam artinya nafsu dendam, merah amarah, kuning keinginan dan putih nafsu kesucian.
Simbol-simbol itu jika digabung menerangkan asal mula, sifat atau watak manusia yang hingga kini dipakai sebagai lambang Sapta Darma.
Jumingan bilang, wewarah tujuh adalah kewajiban suci yang harus dijalankan bagi warga Kepercayaan Sapta Darma sebagai pedoman hidup yang mengatur hubungannya dengan Tuhan, diri pribadi, sesama manusia, bangsa negara dan juga alam semesta. Antara lain,
Sementara sesanti berbunyi, ing ngendi bae marang sapa bae warga Sapta Darma kudu sumunar pindha baskara. (Dimana saja, kepada siapa saja, warga Sapta Darma harus bersinar seperti mentari).
Jumingan kembali menyampaikan, di dalam Sapta Darma terdapat tiga lembaga yang mempunyai peran dan tugas masing-masing.
Meliputi Lembaga Tuntunan untuk urusan rohani, Yayasan Srati Darma (Yasrad) urusan sarana dan prasarana serta Persatuan Warga Sapta Darma (Persada) sebagai wadah warga Sapta Darma mengurusi keorganisasian.
“Persada itu Ormasnya, Persatuan Warga Sapta Darma, tupoksinya itu untuk urusan keluar dengan pemerintahan atau dengan organisasi lain,” tutupnya.