FaktualNews.co

Makanan Warna-warni Berpotensi Tak Halal? Begini Penjelasan Titik Kritisnya

Kuliner     Dibaca : 810 kali Penulis:
Makanan Warna-warni Berpotensi Tak Halal? Begini Penjelasan Titik Kritisnya
Ilustrasi makanan warna-warni Foto: Shutterstock

FAKTUALNEWS.CO – Biasanya, makanan yang memiliki warna bermacam-macam tampak menarik perhatian, terlebih untuk anak-anak. Mereka memang lebih suka makanan yang memiliki warna menarik, sehingga tertarik untuk menyantapnya.

Hal ini bisa ditemukan dalam beberapa snack, kue, atau permen yang dijual.

Selain itu, karena rasanya yang manis juga menjadi salah satu kesukaan anak-anak. Namun, ternyata pewarna yang dipakai untuk membuat makanan tersebut bisa jadi tergolong haram. Apakah benar makanan warna-warni bisa berpotensi tidak halal?

Mengutip website resmi, pewarna makanan terbagi menjadi dua, yaitu alami dan sintetis (kimia). Untuk pewarna alami, biasanya terbuat dari tumbuhan, hewan, dan mineral.

Adapun hal ini diatur berdasarkan Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2013 tentang Batas Maksimum Penggunaan Bahan Tambahan Pangan Pewarna.

Pewarna alami yang diizinkan adalah kurkumin, riboflavin, karmin dan ekstrak cochineal, klorofil, karamel, karbon tanaman, beta-karoten, ekstrak anato, karotenoid, merah bit, antosianin, dan titanium dioksida.

Kemudian ada jenis pewarna sintetis, diproduksi secara kimia dengan mencampur dua atau lebih zat menjadi satu zat baru. Namun ada pewarna sintetis yang diperbolehkan.

Hanya saja penggunaannya dibatasi; antara lain tartrazin, kuning kuinolin, kuning FCF, karmoisin, ponceau, eritrosin, merah allura, indigotin, biru berlian FCF, hijau FCF, dan cokelat HT.

Pelaku usaha atau penjual biasanya menggunakan pewarna sintetis untuk penampilan produknya. Pewarna sintetis lebih stabil dibandingkan pewarna alami; dan pewarna sintetik memberikan bermacam warna yang lebih tahan lama.

Dengan begitu, warna pada makanan tetap cerah meskipun sudah mengalami proses pengolahan dan pemanasan.

Jika dilihat dari harganya, pewarna sintetis ternyata jauh lebih murah dibandingkan dengan pewarna alami. Tidak heran, bukan? Bila pewarna sintetis masih sangat diminati oleh para produsen makanan.

Meskipun penggunaan pewarna sintetis dari segi bahan asalnya tidak kritis, tetapi penggunaannya dibatasi karena bila berlebihan akan menimbulkan efek buruk untuk kesehatan manusia.

Selanjutnya penjelasan yang ditulis oleh Auditor Senior LPPOM MUI Prof. Dr. Hj. Ir. Purwantiningsih M.S. itu turut menjelaskan, pewarna sintetik yang berbahaya dan pernah ditemukan pada produk pangan di Indonesia umumnya Rodamin B dan methyanil yellow.

Rodamin B sering dicampurkan ke dalam makanan, seperti kerupuk, jajanan kue, dan . Sedangkan pewarna methyanil yellow, sering digunakan untuk kerupuk, mi, tahu, dan gorengan.

Kedua pewarna tersebut juga biasa digunakan sebagai pewarna tekstil, kertas, produk kosmetik, tinta, plastik, kulit, dan cat. Akhirnya, pewarna itu tidak boleh untuk diolah dalam produk makanan karena akan berdampak buruk untuk kesehatan.

Sudah jelas, pewarna alami lebih aman untuk digunakan, hanya saja warnanya akan kurang stabil dan mudah rusak karena pengaruh panas; seperti suhu, cahaya, serta pengaruh lingkungan lainnya pada saat penyimpanan maupun pengolahan.

Untuk memperpanjang umur simpan, seringkali dibuat dalam bentuk micro/nanoencapsulation dengan yang menambahkan senyawa pelapis (coating agent).

Nah, untuk pelapis yang sering dipakai adalah gelatin, dapat berasal dari tulang atau kulit hewan atau tulang atau kulit ikan. Kendati demikian para konsumen Muslim sebaiknya memastikan terlebih dahulu dengan jelas sumber gelatin tersebut.

Jika berasal dari hewan, maka harus dipastikan dari hewan halal dan disembelih sesuai syariat Islam.

Bahan pelapis selain gelatin, yang dapat digunakan adalah kelompok polisakarida, seperti karboksi metil selulosa, maltodekstrin, karagenan dan jenis hidrokoloid lainnya yang bersumber dari bahan nabati; atau kitosan yang bersumber dari hewan seperti udang, kepiting. Meskipun begitu, perlu dicermati adakah pemakaian bahan aditif atau bahan penolong untuk mendapatkan produk tersebut.

Titik kritis pewarna alami adalah sumber pewarna alami itu sendiri. Misalnya, apakah bahan pelapis bersumber dari hewan yang halal, dan disembelih dengan halal.

Ataukah, mungkin ada kandungan alkoholnya. Intinya, bahan aditif tersebut harus tidak berbahaya dan aman (thayyib) serta proses produksinya pun secara halal.

Baca berita menarik lainnya hasil liputan
Editor
Sutono Abdillah
Sumber
kumparan.com