Peristiwa

Sejarah Panjang Ludruk di Mojokerto dan Berdirinya Karya Budaya

MOJOKERTO, FaktualNews.co – Nama besar Ludruk Karya Budaya yang dipimpin Eko Edy Santoso atau yang lebih dikenal Cak Edy Karya telah melekat di hati masyarakat.

Mulai tahun 1969 berdiri, hingga saat ini kesenian rakyat itu masih eksis menghibur masyarakat dengan parikan dan kidungan khasnya. Biasanya, pertunjukan ludruk tampil ditiap acara perjamuan yang bertalian dengan perkawinan, khitanan, kaulan, atau sekadar berpesta.

Ludruk sendiri dipahami sebagai pertunjukan seni drama asal Jawa Timur yang dimainkan oleh sekelompok orang, dengan iringan musik tertentu.

Cerita yang diangkat dalam pertunjukan ludruk umumnya berkaitan dengan persoalan sosial masyarakat, kisah-kisah inspiratif yang dikemas dengan lawakan para pemainnya.

Dalam perkembangannya, ludruk tidak hanya berfungsi sebagai hiburan rakyat, tapi juga berfungsi sebagai media perjuangan. Melalui ludruk, para pemain biasa melontarkan kritik secara halus kepada penguasa yang tidak prorakyat.

Setiap pagelaran ludruk, selalu diawali dengan tari remo Jawa Timur-an. Konon, tari ini merupakan tari ucapan selamat datang untuk para tamu dan undangan yang menyaksikan pagelaran ini.

Makanya tidak heran di tari ini yang biasanya diperankan oleh seorang pria gagah yang berkumis tebal, sekaligus ngidung atau nembang.

Tembang ini menggambarkan bagaimana humble-nya sosok orang Jawa Timur yang selalu mengawali hormat terhadap tamunya, sekaligus mempersilahkan untuk duduk dan menikmatinya.

Tari remo juga bisa dilakukan oleh satu atau lebih penari wanita, yang biasa disebut oleh masyarakat penontonnya sebagai tandak ludruk. Dulu, tandak ludruk bisa jadi seorang pria yang macak menjadi wanita yang berparas ayu dan punya suara bagus dalam kidungan-nya.

Kidungan, sama dengan menyanyi yang diiringi oleh gamelan khas Jawa. Parikan bahasa ludruk yang biasanya diselipkan dalam dialog atau dinyanyikan dalam irama tembang jula-juli, sangat pas dan mempunyai keunikan dalam arti dan maknanya. Parikan dalam seni kebudayaan ludruk, sama halnya dengan berpantun, yang selalu membawa makna dan pesan.

Selain parikan, dalam adegan ludruk, banyak kosa kata khas bahasa ludruk yang mempunyai pesan moral terhadap siapa saja. Banyak pitutur kebecikan yang terkandung dari setiap dialog dan alur kidungan parikannya.

Pasang Surut Ludruk di Mojokerto

Ketika masa orde lama, di Desa Canggu, Kecamatan Jetis, Kabupaten Mojokerto, terdapat banyak group kesenian ludruk. Seperti, Panggelaran Budi, Kartika Sari, dan Kebora, singkatan dari Kesenian Kebudayaan Rakyat.

Namun, semua group ludruk dibubarkan oleh pemerintah pasca tragedi G30S PKI. Sebab, kesenian ludruk dianggap anggota Lembaga Kesenian Rakyat atau Lekra yang merupakan underbow dari PKI.

“Semua ludruk itu berjalan sampai dengan G30S  PKI. Tahun ’65 setelah G30S PKI semua ludruk dibubarkan oleh pemerintah. Jadi tidak boleh ada ludruk karena ludruk dianggap anggota Lekra. Tidak peduli itu ludruk Marhen atau ludruk PKI dan sebagainya , pokoknya  ludruk seluruh nya tidak boleh ada,” ungkap pimpinan Ludruk Karya Budaya, Edy Karya, Sabtu (4/6/2022).

Tidak hanya karena dinggap anggota Lekra. Menurut Edy, kala itu  seni ludruk juga menyajikan pertunjukan yang satire, sarat dengan kritikan terhadap kebijakan yang tidak prorakyat. Baik kritik tentang sosial,  perjuangan, pendidikan, dan pembangunan.

Para pemain memanfaatkan panggung pertunjukan sebagai media penyambung lidah rakyat dan menyampaikan ide-ide yang bisa diterima pikiran rakyat. Jika ada kebijakan yang tidak berpihak kepada masyarakat, maka pemerintah harus bersiap menjadi sasaran empuk bahan lawakan anggota ludruk.

“Tempo dulu jaman orde lama, ludruk itu paling bisa mewakili uneg-uneg masyrakat. Ludruk itu kesenian yang suka mengkritik. Jadi semua kebijakan pemerintah yang tidak prorakyat selalu jadi bahan kritikan ludruk. Jadi pemerintahan orde baru itu khawatir menjadi sasaran empuk kritikan ludruk,” beber pria kelahiran 1954 itu.

Rupa-rupanya pemerintah masih sayang dengan kesenian ini. Pada tahun 1967 kembali dihidupkan. Namun muncul dengan alur cerita yang berbeda.

Meski demikian, tetap saja masyarakat sipil belum ada yang berani mendirikan group ludruk. Ludruk kembali tampil diprakarsai dari kalangan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Polri.

Muncullah group-group ludruk besutan TNI. Diawali dari Kodam V/Brawijaya yang mendirikan ludruk Wijaya Kusuma, di Madiun ada ludruk Kopasgat Tri Sula Dharma, Brimob Porong memdirikan ludruk Teratai Jaya, Kodim Jombang mendirikan dua ludruk, Putra Bhirawa Brata dan Bintang Jaya, dan di Mojokerto berdiri ludruk Bhayangkara.

Hingga kemudian, kata Edy, diikuti sejumlah Batalyon TNI juga turut didirikan kesenian ludruk.  “Semuanya tidak ada yang berani mendirikan ludruk.  kecuali dibelakangnya ada binaan dari TNI. Sejah itu tahun ’67 ludruk mulai berjalan di lingkungan TNI,” jelasnya.

Sejarah Berdirinya Ludruk Karya Budaya

Berselang dua tahun, pada tahun 1969 warga Desa Canggu, Kecamatan Jetis, meminta Bantoe, seorang anggota Polsek Jetis untuk mendirikan ludruk. Mengingat, pada waktu itu memang sangat sulit untuk mendapat izin mendirikan ludruk kecuali kalau ludruk tersebut berada di bawah binaan militer.

Cak Bantoe, sapaan akrabnya, menyetujui permintaan itu. Sehingga penduduk desa Canggu mendaulat Cak Bantoe sebagai pimpinan ludruk yang diberi nama Karya budaya Mojokerto berada binaan Polsek Jetis. Berdirinya Ludruk Karya Budaya tepat  29 Mei 1969.

Cak Bantoe ini merupakan ayah kadung Edy Karya yang kini menjadi pimpinan grup ludruk tersebut.  Namun, alur cerita yang dimainkan sangatlah berbeda dengan semasa orde lama. Kalau dulu alur ceritaya mengandung kritikan terhadap pemerintah, sejak di bawah naungan militer alur ceritanya dibelokkan, berpindah menjadi corong pemerintah. Seperti mensosialisasikan program-program pemerintah.

“Disitu, oleh abri ludruk dibelokkan, nek biyen ludruk iku dadi tukang kritik, saiki ludruk kudu dadi corong e pemerintah (kalau duli ludruk itu tukang kritik, saiki ludruk dadi corong pemerintah),” ungkap Edy sambil tersenyum.

Edy melihat, awal-awal berdiri masih penonton masih ramai. Kecintaan masyarakat terhadap ludruk besar. Akan tetapi, menurutnya jika ditelaah lebih dalam secara seninya berkurang.

“Saat itu orang masih kangen ludruk, jadi masih ramai. Tapi sebetulnya greget penonton sudah berkurang. Dulu penonton ludruk senang banget dengan ludruk karena sesuai denga unek-unek mereka, kritik pemerintah diwakili ludruk. Sekarang tidak pada saat orde baru, diganti jadi corong, jadi seni dari ludruk berkurang, seakan-akan seperti juru penerangan,” bebernya.

Awal, grup ludruk Karya Budaya sudah memliki lebih dari 60 pemain dan crew. Semuanya asli warga Desa Canggu.

Edy menceritakan, era keemasan mulai dirasakan pada tahun 1970. Karya budaya dikontrak oleh partai Golongan Karya (Golkar) untuk kampanye persiapan pemilu 1971. Mereka pentas dari panggung ke panggung, tingakat Kecamatan maupun Kabupaten.

Momen itulah dimanfaatkan Cak Bantoe menambakan pemain dari luar Canggu yang sudah memiliki nama besar. Diantaranya, Cak Kunting, Cak Sukir, Cak Taji, dan beberapa pemain berpenampilan transgender (waria).

“Sejak itu laris manis tanggapannya. Saat itu pentas tidak terlalu jauh, seperti tuban, lamongan, bojonegoro, surabaya dan sekitarnya. Hampir setiap hari manggung,” tukas bapak empat anak itu.

Bahkan, Jika sepi job mereka menggelar pertujukan di lapangan untuk nobong (nonton bareng) istilah sekarang nobar dengan dikarciskan. “Sejak itu karya budaya terus berkibar sampai saat ini,” sambung Edy.

Tahun 1993 Cak Bantoe meninggal dunia di usia 67 tahun. Kepemimpinan Ludruk Karya Budaya kemudian beralih nahkoda. Anggota Ludruk Karya Budaya meminta Edy untuk melanjutkan kepemimpinan bapaknya.