Sarasehan Budaya di Surabaya: Agama Tak Ajarkan Intoleransi dan Terorisme
SURABAYA, FaktualNews.co – Sarasehan budaya bertajuk Deradikalisasi dan Mencegah Intoleransi dengan Kearifan Lokal. Diskusi yang digagas Pustaka Lewi, Matra Jatim dan Laksus Darah Gajah Mada itu menghasilkan kesepakatan pandangan bahwa agama tak mengajarkan intoleransi dan terorisme.
Siswadi Siswo Pranoto selaku Ketua Panitia Sarasehan menyampaikan, acara diskusi menghadirkan KH Abdul Hamid Sya’roni pemuka agama Islam, Muchamad Arifin dari BNPT-FKPT Jawa Timur, Kunjung Wahyudi Ketua Komnas Pendidikan Jawa Timur, MT Ekawati Rahayu selaku Kepala Bakesbangpol Surabaya, Kol Inf Corri Sigalingging Kasi Intel Korem Bhaskara Jaya, Yordan M Batara Goa seorang akademisi serta para tokoh masyarakat lintas agama. Mulai dari Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, Konghucu, Ortodoks hingga penganut aliran kepercayaan untuk membahas persoalan deradikalisasi dan terorisme.
“Inti dari acara tersebut kita ingin mempertemukan tokoh agama ini dengan pejabat terkait, dalam hal ini yang paling berwenang ini BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme) dan kemudian didukung oleh Kodam (V Brawijaya),” ujar Siswadi kepada media ini, Senin (20/6/2022).
Lebih lanjut disampaikannya, tujuan digelarnya acara ini tak lain untuk mencegah pergerakan radikalisme yang membahayakan persatuan dan kesatuan Bangsa Indonesia. Sementara mengenai waktu pelaksanaan, ia mengatakan, sarasehan digelar sebagai wujud peringatan Hari Pancasila yang jatuh setiap tanggal 1 Juni.
“Tapi karena kita tidak bisa menggelar di 1 Juni karena terkait perijinan, (maka) kita ganti dengan dalam rangka Bulan Pancasila karena di bulan (Juni) ini Pak Karno (Presiden Soekarno) lahir dan Pancasila lahir,” ujarnya.
Dia menjelaskan, ada beberapa poin yang menjadi pokok bahasan dalam diskusi tersebut. Diantaranya mengenai makna Garuda Pancasila sebagai lambang negara berikut konsep panca sadar meliputi Sadar Tuhan, Sadar Diri, Sadar Hidup, Sadar Masalah dan Sadar Bahagia. Hingga penjelasan ideologi Pancasila berdasar versi 1 Juni 1945.
Namun dari serangkaian bahasan itu, Siswadi menyimpulkan jika peserta diskusi bersepakat bahwa intoleransi dan terorisme tidak mengenal agama dan apapun agama kita harus saling menghargai satu sama lain.
“Semua sepakat bahwa agama tidak mengajarkan intoleransi, tidak satu agama pun mengajarkan terorisme. Terorisme tidak mempunyai agama, jadi kita tidak boleh lagi menyebut agama ini sebagai terorisme,” tandasnya.