Hukum

Begini Pendapat PW Muhammadiyah Jatim soal Nikah Beda Agama di Surabaya

SURABAYA, FaktualNews.co – Pengurus Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Timur turut menyoroti kasus pernikahan beda agama yang diizinkan Pengadilan Negeri (PN) Surabaya.

Wakil ketua PWM Jawa Timur, Dr Syamsuddin mengatakan untuk menyikapi persoalan tersebut perlu melihat dari dua perspektif, yakni berdasar syariat Islam dan hukum positif yang berlaku di Indonesia.

Ia menuturkan, pernikahan berbeda agama di dalam syariat Islam bukanlah sebuah hal baru karena Al Quran telah mengatur tentang perkawinan ini.

“Di dalam Al Quran, nonmuslim kaitannya dengan perkawinan dibedakan menjadi dua. Ada nonmuslim musyrikin dan nonmuslim ahli kitab,” kata Syamsuddin mengawali tanggapannya, Kamis (23/6/2022).

Dirinya lalu menyampaikan, baik lelaki maupun perempuan muslim haram menikahi orang musyrikin apapun alasannya. Hal ini berdasar Al Quran Surat Al Baqarah ayat 221 yang jika diartikan berbunyi:

‘Dan janganlah kamu nikahi perempuan musyrik, sebelum mereka beriman. Sungguh, hamba sahaya perempuan yang beriman lebih baik daripada perempuan musyrik meskipun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu nikahkan orang (laki-laki) musyrik (dengan perempuan yang beriman) sebelum mereka beriman.’

Sedangkan bagi ahli kitab dikatakannya, terdapat perlakuan lain, lelaki muslim diperbolehkan menikahi perempuan ahli kitab. Namun berbeda ketika perempuan muslim menikah dengan lelaki ahli kitab, Syamsuddin bilang hukumnya tetap haram.

“Makna ahli kitab disini adalah Yahudi dan Nasrani ya,” singkatnya.

Tapi kemudian kata dia, aturan itu berubah manakala jaminan hukum terkait kebolehan itu tidak ada, termasuk di Indonesia. Yaitu anak yang dilahirkan harus memeluk agama Islam seperti yang dianut sang ayah.

Oleh karena itu ia menyampaikan, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa yang menyatakan perkawinan lelaki muslim dengan wanita ahlu kitab, menurut qaul mu’tamad, adalah haram.

“Karena haram ya status pernikahannya tidak sah,” lanjut dia.

Selanjutnya, bila kasus pernikahan beda agama dipandang dari kacamata hukum nasional. Syamsuddin menjelaskan belum ada payung hukum mengatur perkawinan beda agama di Indonesia.

Artinya, ada kekosongan hukum disana. Sehingga masyarakat kerap melakukan rekayasa dengan cara menikah di negara lain kemudian mencatatkannya pada catatan sipil.

“(Dengan Menikah) ke tempat-tempat yang disana tidak mempermasalahkannya. Ke Singapura, ke Hongkong atau ke tempat lain,” ucapnya.

Mengenai keputusan PN Surabaya pada perkara ini, Syamsuddin menilai lembaga peradilan itu sejatinya tidak mensahkan pernikahan beda agama. Melainkan mengizinkan pemohon menikah dengan pasangannya yang notabene berbeda keyakinan di catatan sipil.

Sehingga atas amar putusan ini, Dispendukcapil Kota Surabaya menjadi pihak yang menerima tanggung jawab untuk menikahkan.

“Tapi kelihatannya Dispendukcapil sampai sekarang belum bisa memberikan surat keterangan itu (menikah) karena mereka juga bingung itu dinikahkan dengan cara apa,” katanya.

Sebab dilain sisi, keputusan Mahkamah Agung telah menyatakan bila pasangan beda agama boleh menikah asalkan salah satu dari pasangan ini mengalah mengikuti keyakinan pasangannya. Bila Islam dilangsungkan pada Kantor Urusan Agama (KUA) sedangkan non muslim ke catatan sipil.

Tetapi masalahnya, baik KUA maupun catatan sipil dikatakannya, tidak mempunyai payung hukum yang mengatur untuk menikahkan pasangan berbeda agama.

“Jadi pada intinya ketika ditanya bagaimana hukum Islam terkait pernikahan beda agama dengan argumen yang saya sampaikan tadi, hukumnya haram. Status pernikahannya tidak sah,” tutupnya.