Peristiwa

Terkait Prostitusi Online di Tulungagung, Pengamat Hukum: Segera Buat Perda

TULUNGAGUNG, FaktualNews.co – Fenomena prostitusi online di Tulungagung sudah bukan menjadi rahasia lagi. Namun dalam penegakan hukumnya, di Tulungagung masih minim sekali. Padahal ada beberapa aturan yang dapat menjerat prostitusi online.

Bahkan jika memang kasus prostitusi online di Tulungagung sudah marak. Seharusnya pemangku kebijakan segera membuat peraturan daerah (Perda) untuk memutus mata rantai bisnis gelap tersebut.

Pengamat Hukum Tulungagung, Andreas Sujatmiko mengatakan, sebenarnya praktik prostitusi online di Tulungagung bisa dijerat dengan beberapa aturan yang ada. Seperti aktivitas hubungan seksual bisa dilakukan pidana, apabila konsumen adalah laki-laki atau perempuan yang telah mempunyai pasangan sah.

“Perbuatan itu bisa dikenakan delik zina sebagaimana ketentuan dalam Pasal 284 KUHP dengan ancaman hukuman pidana maksimal 9 bulan penjara,” tuturnya.

Dosen Universitas Bhinneka PGRI Tulungagung itu menjelaskan, konsumen prostitusi baik online atau offline itu tidak bisa diancam pidana, karena perbuatan yang dilakukan masuk dalam kategori victimless crime atau kejahatan tanpa korban.

Namun, terdapat pengecualian yang mengatur konsumen prostitusi bisa diproses hukum yakni memaksa untuk melakukan hubungan seksual.

“Jika konsumen melakukan pemaksaan baik dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, atau tipu daya yang membuat seseorang terjerat dalam prostitusi maka bisa diancam dengan sangkaan pemerkosaan, perdagangan orang dengan tujuan eksploitasi. Selain itu, jika melakukan dengan anak dibawah umur juga bisa dijerat dengan perbuatan cabul atau pelacuran anak,” jelasnya.

Andreas mengungkapkan, pelaku prostitusi online dan kosumen juga bisa jerat dengan pidana menyebar konten yang melanggar kesusilaan sebagaimana diatur dalam UU ITE yakni UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang informasi dan transaksi elektronik.

Seperti dalam Pasal 27 ayat (1) UU ITE dimana setiap orang yang melakukan dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan, mentransimiskan, membuat informasi atau dokumen elektronik yang memiliki muatan melanggar kesusilaan bisa dipidana.

“Selama perbuatan prostitusi online terdapat bukti transaksi didalam chat di dalam media sosial bisa dijerat dengan UU ITE. Dalam Pasal 15 ayat (1) UU ITE, menjelaskan bahwa ancaman pidana penjara paling lama 6 tahun dan atau denda maksimal Rp 1 miliar,” ungkapnya.

Menurut Andreas, apabila fenomena prostitusi online di Tulungagung berdasarkan survey sudah masuk dalam kategori marak. Maka seharusnya pemangku kebijakan baik DPRD Tulungagung dan Bupati Tulungagung, untuk segera membuat perda terkait prostitusi online. Hal ini bertujuan untuk menekan praktek bisnis gelap tersebut.

“Kalau di dalam survey membuktikan bahwa praktik prostitusi online di Tulungagung sudah marak, maka harus segera membuat perda. Agar bisa menjaga image Tulungagung sebagai kota yang bersih dari prostitusi online,” pungkasnya. (Hamam).