JAKARTA, FaktualNews.co – Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menyoroti enam kejanggalan dalam proses pengusutan kasus baku tembak polisi yang menewaskan Brigadir J di kediaman Kadiv Propam Irjen Pol Ferdy Sambo.
“Berdasarkan informasi yang kami himpun, terdapat berbagai kejanggalan yang mewarnai proses pengusutan kasus ini,” kata Wakil Koordinator KontraS Rivanlee Anandar dalam keterangannya, dikutip Jumat (15/7).
Pertama, sebut Rivanlee, terkait disparitas waktu yang cukup lama sejak insiden dengan pengungkapan ke publik, yakni sekitar dua hari. Kejadian baku tembak terjadi pada 8 Juli 2020. Polri baru mengungkap peristiwa tersebut pada 11 Juli 2022.
Kedua, kronologis kejadian yang disampaikan oleh pihak Kepolisian berubah-ubah. Ketiga, ditemukannya luka sayatan pada jenazah Brigadir J di bagian muka. Keterangan mengenai luka tembak antara Polri dengan keluarga juga memiliki perbedaan yang signifikan.
Pihak keluarga menyebut ada empat luka tembak pada tubuh Brigadir J, yakni dua luka di dada, satu luka tembak di tangan, dan satu luka tembak lainnya di bagian leher.
Selain itu, mereka juga mengatakan terdapat luka sayatan senjata tajam di bagian mata, hidung, mulut, dan kaki. Hal ini berbeda dengan keterangan Kepolisian yang menyebutkan bahwa terdapat tujuh luka dari lima tembakan.
Keempat, keluarga sempat dilarang melihat kondisi jenazah. Kelima, CCTV dalam kondisi mati pada saat peristiwa terjadi. Keenam, keterangan Ketua RT yang menyebutkan tidak mengetahui adanya peristiwa dan proses olah TKP.
“Kami menilai bahwa sejumlah kejanggalan tersebut merupakan indikasi penting bahwa Kepolisian terkesan menutup-nutupi dan mengaburkan fakta kasus kematian Brigadir J,” tutur dia.
Rivanlee menilai kejanggalan kasus baku tembak antara Brigadir J dengan Bharada E serupa dengan penembakan terhadap enam laskar Front Pembela Islam (FPI).
“Bukan kali pertama, upaya Kepolisian dalam menyembunyikan fakta juga terjadi pada kasus terdahulu, seperti halnya penembakan terhadap enam laskar Front Pembela Islam (FPI),” sebut dia.
“Pada persidangan kasus, terbukti sejumlah warga sekitar diduga mengalami intimidasi oleh aparat untuk tidak merekam peristiwa dan bahkan diminta untuk menghapus file rekaman atas peristiwa penangkapan yang terjadi. Hal ini sebagaimana diungkapkan Komnas HAM ketika memberikan keterangan di persidangan,” tambah Rivanlee
Oleh karena itu, ia mengatakan adanya kejanggalan pertanggungjawaban perkara pidana sering terjadi apabila melibatkan anggota kepolisian dengan sejumlah pola yang sama.
Seperti ketidaktegasan dalam mekanisme pidana terhadap anggota yang terbukti bersalah. Hingga akhirnya menyerahkan kepada mekanisme internal etik atau disiplin.
Kerap kali mengupayakan penyelesaian perkara dengan cara ‘kekeluargaan’ atau ‘perdamaian’ yang membuat pihak korban menjadi tertekan dan menyetop perkara. Lalu, tidak adanya evaluasi kelembagaan serta perbaikan institusi dari kesalahan yang terjadi.
“Selain memunculkan keberulangan peristiwa, hal tersebut tentu saja akan berimplikasi pada terkikisnya kepercayaan masyarakat dan meruntuhkan wibawa Korps Bhayangkara. Sebab, hal tersebut akan mencoreng asas equality before the law dan hanya akan memperpanjang fenomena impunitas aparat,” tutur dia.
Sebagai informasi, kasus baku tembak antara Brigadir J dan Bharada E terjadi di rumah singgah Irjen Ferdy Sambo pada Jumat (8/7) pukul 17.00 WIB. Brigadir J tewas akibat tembakan dari Bharada E.
Aksi baku tembak itu ditengarai adanya dugaan pelecehan yang dilakukan Brigadir J kepada istri Irjen Pol Ferdy Sambo. Kasus ini tengah ditangani Polres Metro Jakarta Selatan.
Bentuk Tim Khusus
Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo telah membentuk tim khusus untuk membongkar kasus penembakan Brigadir J dan Bharada E ini. Tim dipimpin langsung Wakapolri Komjen Pol Gatot Eddy Pramono beserta jajaran Irwasum, Bareskrim, Provos, hingga Paminal Polri.
“Satu lagi kasus yang tentunya melibatkan anggota karena memang terjadi baku tembak antara anggota dan anggota. Dan kami juga mendapatkan banyak informasi terkait dengan berita-berita liar yang beredar yang tentunya kita juga ingin semuanya ini bisa tertangani dengan baik,” ucap Kapolri Jenderal Listyo Sigit.
Selain melibatkan instansi internal Polri, kata Sigit, tim khusus ini juga melibatkan rekan-rekan dari eksternal yakni Kompolnas dan Komnas HAM agar proses hukum nantinya bisa lebih transparan.
“Satu sisi kami juga sudah menghubungi rekan-rekan dari luar dalam hal ini Kompolnas dan Komnas HAM terkait isu yang terjadi sehingga di satu sisi kita tentunya mengharapkan kasus ini bisa dilaksanakan pemeriksaan secara transparan, objektif,” ucapnya.