TULUNGAGUNG, FaktualNews.co – Hingga kini, diduga masih banyak nelayan benur ilegal di pesisir laut Tulungagung. Hal ini terbukti dengan minimnya jumlah nelayan benur yang tergabung kelompok usaha bersama (KUB) mendaftarkan secara resmi.
Selain itu juga masih ditemukan oknum nelayan benur ilegal yang melakukan upaya penyelundupan.
Kepala Dinas Periksanan (Diskan) Tulungagung, Lugu Tri Handoko melalui Kasi Kenelayanan, Diskan Tulunaggung, Dedy Azhar Muhammad membenarkan bahwa saat ini KUB yang terdaftar secara resmi masih sangat minim di Tulungagung.
Berdasarkan catatan, hanya ada 10 KUB yang sudah terdaftar secara resmi melakukan kegiatan penangkapan benur untuk dilakukan budidaya.
“Sampai Juli 2022 ini, kami hanya mencatat 10 KUB yang sudah mendafatarkan secara resmi untuk menangkap benur di pesisir laut Tulungagung. Kalau untuk jumlah nelayan benur yang ilegal kami masih belum bisa melakukan pencatatan,” ujarnya.
Dedy menduga bahwa dengan minimnya nelayan benur mendaftar secara resmi di Tulungagung. Maka masih banyak nelayan benur yang ilegal beroperasi di pesisir laut Tulungagung. Pasalnya, jika jumlah anggota setiap KUB itu berikisar 10 nelayan, maka saat ini masih ada 100 nelayan penangkap benur. Padahal jumlah itu masih sebagian kecil saja.
Menurutanya, memang masih banyak nelayan benur yang belum terdaftar secara resmi. Hal itu terlihat dari alat penangkap benur yang tersebar di Pantai Popoh, Sine, Sidem, Klatak Brumbun, Gerangan hingga Pantai Brumbun. Mereka yang tidak terdaftar otomatis menjadi nelayan penangkap benur ilegal di Tulungagung.
“Bahkan beberapa waktu lalu, Polda Jatim juga telah menangkap salah satu nelayan benur asal Tulunaggung sedang melakukan upaya penyelundupan benur,” paparnya.
Menurut Dedy, padahal berbagai upaya telah dilakukan kepada nelayan benur untuk mendaftarkan secara resmi. Namun, tampaknya sampai saat ini kesadaran tersebut masih sangat rendah. Padahal untuk mendaftar secara resmi di Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) itu sangat mudah sekali.
“Sebenarnya persyaratanya itu mudah. Masalahnya adalah berada di kesadaran nelayan penangkap benur yang masih rendah. Memang saat ini pemerintah sudah memperbolehkan lagi, tapi nelayan penangkap benur tidak boleh menjualnya, melainkan harus dilakukan budidaya untuk dijadikan sebagai lobster,” terangnya.
Dedy mengaku bahwa memang saat ini Tulungagung masih belum memiliki tempat untuk budidaya benur. Namun pada fakta di lapangan, nelayan benur asal Tulungagung menjual ke pembudidaya benur yang berada di Trenggalek yang sudah terdaftar di kementerian.
“Untuk hasil tangkapannya rata-rata satu nelayan benur dalam satu bulan bisa mendapatkan sekitar 3000 ekor benur. Sedangkan untuk harganya, satu ekor benur dihargai hingga Rp 10 Ribu. Namun, akan lebih menjanjikan apabila menjual lobster, karena untuk harganya bisa mencapai ratusan ribu per ekor,” pungkasnya. (Hammam).