Nasional

Sorgum, Pangan Lokal Bertaraf Nasional Bakal Dikembangkan

JAKARTA, FaktualNews.co – Pemerintah merencanakan untuk mengembangkan kembali sorgum sebagai bahan pangan nasional. Bahkan akan dibuka lahan dalam skala besar.

Hal ini disampaikan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartanto setelah mengikuti rapat terbatas soal sorgum dan gandum di Istana Merdeka Kamis (4/8/2022) lalu.

Lokasi yang dipilih untuk penanaman sorgum adalah Waingapu, Nusa Tenggara Timur. Kebijakan ini ditempuh untuk mengatasi kelangkaan gandum yang sedang melanda dunia akibat dari perang Rusia-Ukraina.

Mengapa sorgum?

Sorgum adalah tanaman serbaguna yang dapat digunakan sebagai sumber pangan, pakan ternak dan bahan baku industri. Sebagai bahan pangan, sorgum sangat penting karena bisa sebagai substitusi gandum, beras, jagung, padi, dan jelai.

Kandungan gizinya tidak main-main. Sorgum mengandung serat tidak larut air atau serat kasar dan serat pangan, masing-masing sebesar 6,5%-7,9% dan 1,1%-1,23%.

Sementara kandungan protein pada sorgum pun hampir seimbang dengan jagung, yaitu sebesar 10,11% sedangkan jagung 11,02%.

Meski oleh para ahli gizi dikatakan bahwa sorgum memiliki nilai gizi yang lebih baik dari jagung dan padi. Tetapi bila dibandingkan dengan sorgum, jagung dan beras masih tetap menjadi primadona bagi masyarakat.

Akan tetapi mimpi Indonesia mensubstitusi gandum dengan sorgum masuk akal sebab dunia saat ini tengah dilanda krisis pangan khususnya gandum.

Meski demikian, ada beberapa tantangan yang masih menjadi batu sandungan bagi mimpi besar ini.

Pertama, skala produksi. Luas lahan untuk sorgum harus benar-benar diperhatikan. Sebab ini untuk memenuhi kebutuhan nasional bukan sekedar memenuhi stock pangan yang sifatnya lokal saja.

Sebagai salah satu tanaman lahan kering, sorgum memang sangat baik untuk dibudidayakan di NTT.

Hal ini cocok dengan tanaman ini sebab dapat tumbuh pada ketinggian 0 hingga 800 mdpl dengan suhu 23 derajat hingga 30 derajat celcius dan kelembapan 20% sampai 40%.

Sedangkan curah hujan yang diperlukan adalah 372-425 mm per tahun dengan kadar pH tanah 5 hingga 7,5.

Skala produksi erat berkaitan dengan luas lahan, mutu hasil pertanian dan kontinuitas.

Untuk luas lahan, daerah NTT seluruhnya memiliki potensi sebagai lahan sorgum. Bukan saja Sumba tapi juga Flores dan Timor. Hanya saja setelah diproduksi, pasarnya harus jelas sehingga semangat para petani tidak kendor.

Sementara untuk mutu sorgum tergantung dari varietas dan cara mengelolah lahan pertanian. Karena itu ide menanam sorgum ini harus diiukuti dengan langkah-langkah yang jelas terutama berhubungan dengan pendampingan para petani lewat para penyuluh pertanian yang handal.

Asalkan pemerintah secara penuh melakukan pendampingan dan juga penyuluhan yang benar agar hasil pertanian sorgum benar-benar berkualitas.

Sedangkan untuk kontinuitasnya, hal yang dituntut adalah kerja keras dan kerja cerdas. Jika lahan mencukupi, pendampingan berjalan sebagaimana mestinya maka produksi sorgum harus terus berjalan.

Jangan mengulang kesalahan yang sama seperti di zamannya Dahlan Iskan menjadi Menteri BUMN. Setelah masyarakat beramai-ramai menanam sorgum, giliran panen masyarakat bingung harus memasarkannya ke mana. Pemerintah seolah-olah lepas tangan.

Itu yang terjadi di kabupaten Belu dan Malaka di tahun 2014. Masyarakat pada akhirnya putus asa dan mengembalikan fungsi lahan untuk sorgum menjadi lahan jagung dan kacang hijau.

Kontinuitas ini perlu dijaga dan dipertahankan secara konsisten agar kebijakan ini tidak terkesan hanya berada pada tataran lip service.

Kedua, soal food estate. Food estate merupakan konsep pengembangan pangan yang dilakukan secara terintegrasi mencakup pertanian, perkebunan, dan peternakan di suatu tempat.

Setelah melalui serangkaian kunjungan ke Waingapu, Presiden melihat bahwa lahan di sana memiliki potensi sebagai food estate. Tapi Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira mempuntai pendapat lain. Menurutnya pemerintah perlu mempertimbangkan hal ini sebab ada banyak food estate yang gagal.

Ia meminta pemerintah untuk memperbaiki food estate yang ada terutama soal manajemen dan paska panen agar food estate yang dibangun tidak menjadi mubazir atau percuma.

Ketiga, arah perkembangan sorgum. Diketahui sorgum memiliki dua manfaat yaitu sebagai pangan dan juga energi. Pemerintah harus menentukan arah perkembangannya, apakah fokusnya untuk pangan atau energi. Kalau memang dua-duanya, maka pemerintah harus bersungguh-sungguh memanejemennya agar dapat berhasil dengan baik proyek nasional ini.

Sampai dengan Juni ini, diperkirakan total luas lahan yang ditanami sorgum 4.354 hektare dan tersebar di enam provinsi (Kompas.com) dengan estimasi kurang lebih 3,63 ton per hektare. Dari estimasi ini, maka diperkirakan sorgum yang akan dihasilkan per sekali panen adalah 15.243 ton.

Luas lahan akan terus ditambah. Di tahun 2024 diperkirakan akan ada 154.000 hektare untuk lahan sorgum. Dan Waingapu akan dijadikan pilot project untuk sorgum yang akan dipadukan dengan peternakan karena batang sorgum sangat baik untuk pakan ternak dan juga bisa untuk bio-ethanol.

Apabila rencana pemerintah ini berjalan mulus, niscaya ketergantungan kita akan gandum dapat dikurangi.