MOJOKERTO, FaktualNews.co – Karyawan Koperasi Pegawai Republik Indonesia (KPRI) Budi Arta Mojokerto, Wahyu Widyawati membantah melakukan penggelapan uang miliaran rupiah kas koperasi.
Tuduhan penggelapan uang senilai Rp 11 miliar milik nasabah KPRI Budi Arta itu dilayangkan pengurus koperasi simpan pinjam yang beranggota guru PNS. Tak hanya kepada Wahyu, Malikan, ayah kandungnya selaku mantan ketua koperasi juga turut dilaporkan. Kini, kasus tersebut telah ditangani Polres Mojokerto.
Mereka dituduh mengggelapkan uang simpana mana suka, fee penagihan hutang, fee pengawas koperasi, dan melakukan kredit fiktif.
Wahyu yang bertugas sebagai kasir ini mengaku, tuduhan tersebut tidak mempunyai dasar. Pasalnya, dirinya yang telah mencatat semua uang yang keluar dan masuk.
Bahkan, ia telah mencairkan simpanan mana suka anggota koperasi. Namun menurut dia, terdapat sejumlah pembayaran yang tidak diakui Ketua 1 KPRI Budi Arta yang telah mengundurkan diri pada 2019.
“Atas nama Abdillah sudah mengambil simpanan mana suka sebesar Rp 600 juta, Alif Fahman punya simpanan mana suka Rp 400 juta, tapi diakui,” katanya sambil menunjukkan catatan pengeluaran di kediamannya, Rabu (31/8/2022).
Misalnya, kata Wahyu, uang simpanan mana suka Rp 400 juta yang telah dikembalikan ke nasabah, hanya diakui Rp 100. Sehingga, Bambang menuding sisa Rp 300 juta ditilap dirinya. Sehingga dirinya dan ayahnya harus menganti uang Rp 300 juta tersebut dengan uang pribadi.
“Saya harus mengembalikan uang Rp 300 juta pakai uang pribadi dengan bapak,” tandasnya.
Terkait 89 anggota yang tercatat kredit fiktif, perempuan yang akrab disapa Yayuk ini menepis tuduhan tersebut. Ia menyampaikan, bisa menunjukkan data bahwa 89 orang yang tercatat benar-benar memiliki pinjaman di KPRI Budi Arta. Total pinjaman 89 anggota itu senilai Rp 4,7 miliar.
“Semua anggota yang meminjam ini nyata dan saya punya bukti surat peminjaman hutangnya,” beber Yayuk sambil menunjukan salah satu surat perjanjian hutang,” ungkap Yayuk.
Kemudian, terkait tuduhan penggelapan uang fee pemeriksaan pengawas sebesar Rp 32 juta. Menyikapi hal tersebut, Yayuk mengaku jika pihaknya sudah membayarkan honor tersebut. Setiap melakukan pemeriksaan, pengawas menerima honor sebanyak Rp 400 ribu.
“Ada sepuluh pengawas, dalam satu tahun empat kali melakukan pemeriksaan,” jelas Yayuk.
Hanya saja pada honor tahun 2021 belum terbayarkan, karena pada tahun itu kondisi koperasi masih keruh.
“Ya dibayarkan to mas, ada kwitansinya, tanda terimanya juga ada. Tapi yang 2021 kayaknya belum. Itu waktu rame-ramenya dan pengawasnya tidak pernah memeriksa,” ujar Yayuk.
Yayuk bersama ayah kandungnya Maslikan selaku mantan Ketua KPRI Budi Arta Mojokerto telah memenuhi panggian penyidik Satreskrim Polres Mojokerto untuk diminta keterangan sebagai pihak terlapor.
Ia berharap pihak kepolisian bisa membantu menyelesaikan persoalan ini. Ia menegaskan, jika nantinya tuduhan pengurus KPRI Budi Arta tidak terbukti, maka dirinya akan melaporkan balik atas tuduhan pecemaran nama baik.
“Saya berharap polisi bisa membantu saya dalam menyelesaika persoalan ini. Kalau tidak terbukti akan saya laporkan balik semuanya,” tegasnya.
Ia menambahkan, selam ini memang dirinyalah yang melayani nasabah dan mengatur keluar masuknya uang. Namun, ia tidak memiliki kewenangan mengeluarkan kebijkan.
“Selama ini satus saya karyawan, mengatur pengeluaran uang. Karena pengurus tidak pernah ada di kantor. Jadi kita mengeluarkan uang, itu tergantung apa program kerja,” imbuhnya.
Kasus ini mencuat setelah pengurus KPRI Budi Arta dan sejumlah anggota melaporkan ke Polres Mojokerto pada 27 Juli 2022.
Kasat Reskrim Polres Mojokerto, AKP Gondam Pringgandoni mengatakan, kasus tersebut masih dalam tahap penyelidikan dengan memeriksa semua pihak terkait.
“”Kami masih melakukan klarifikasi atau penyelidikan,” katanya.