JEMBER, FaktualNews.co – Soal sengketa lahan rumah dinas di wilayah Jalan Mawar, Kelurahan Jember Lor, Kecamatan Patrang, Jember, yang sebelumnya ditegaskan sebagai aset milik dari PT.KAI, puluhan warga ngotot menyampaikan pernyataan berbeda.
Sebanyak 34 perwakilan yang menamakan diri Kopertama (Kelompok Perjuangan Tanah Mawar) Jember, tegas menganggap, lahan tanah dan rumah yang ditempati adalah miliknya.
Meskipun sesuai hasil jgugatan lewat jalur Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) bahkan sampai Mahkamah Agung (MA) ditegaskan sebagai aset PT.KAI, namun warga masih melanjutkan gugatan lewat MA melalui tahapan peninjauan kembali (PK). Gugatan itu disampaikan melalui 3 kuasa hukumnya.
Menurut warga, sebagaiamana disampaikan salah seorang kuasa hukum dari Kopertama Jarot Subiakto, dasar warga masih menganggap lahan rumah yang ditempati di wilayah Jalan Mawar miliknya, karena sudah menempati lahan tersebut, selama berpuluh-puluh tahun.
“Pertama warga ini sudah menempati (rumah) secara turun-temurun sejak lama. Sesuai aturan baik Keppres (nomor 32 tahun 1979 Pasal 5) maupun PP 24 tahun 1997, diberikan hak prioritas kepada warga, jika menempati (lahan) tanah negara lebih dari 20 tahun. Padahal warga ini sudah menempati sekitar 40-60 tahun,” kata Jarot, Kamis (22/9/2022) petang.
Alasan Kedua, lanjut Jarot, lahan tanah yang ditempati warga adalah tanah negara.
“Sudah jelas itu. Baik di buku kelurahan, maupun kemarin SK Kanwil BPN adalah menegaskan Tanah Negara. Maka kemudian diberikan hak SHGB kepada PT. KAI. Walaupun anehnya, adanya hak SHGB itu muncul tahun 2020 kemarin secara kilat dan tiba-tiba, muncul SHGB atas nama warga,” ujarnya.
Namun demikian, lanjutnya, walaupun PT. KAI mengatakan sebagai aset, lahan tanah ini dari PJKA.
“Tidak pernah, ada penyerahan kepada PT. KAI. Begitu bubar PJKA, tanah ini kembali menjadi tanah negara dan masuk perumahan negara golongan 3. Itu seharusnya, ada peraturan pemerintah setidak-tidaknya SK dari Menteri Keuangan, yang menyerahkan tanah dan rumah ini kepada PT. KAI,” tegasnya.
“Tapi karena tidak ada kejelasan dan hanya sepihak, maka berdasarkan UU rakyat punya hak prioritas untuk mengajukan hak kepemilikan. Hal itu pun sudah dilakukan, sekitar tahun 2016 tapi tidak diproses,” sambungnya.
Sehingga karena muncul produk hukum pada tahun 2020 soal hak SHGB itu, kata Jarot, maka dilakukan gugatan warga ke PTUN.
“Tentang suratnya, tentang hak pengusaan tanah. Ini harus dimulai dari gugatan di peradilan umum. Jadi harus dibedakan mana surat mana hak penguasaan lahan,” ucapnya.
Kata Jarot, warga memahami lahan tanah yang ditempati sebagai tanah negara dan rumah golongan 3. Maka ditempuh jalur PTUN itu.
“Dimana rakyat punya hak prioritas,” ujarnya.
Perlu diketahui, Jarot menjelaskan, saat warga kemudian mengklaim lahan tanah tang ditempati sebagai hak milinya.
“Karena dulu ceritanya, orang tuanya itu waktu (bekerja) di PJKA. Telah dipotong gajinya untuk perumahan ini. Juga diprioritaskan untuk pekerja. Cuman selama ini belum ada kejelasan, tapi ada cerita. Kami pun juga punya bukti, kalau pegawai PJKA dulu dipotong gaji untuk perumahan ini. Sehingga nanti saat pensiun, perumahan ini untuk warga,” ungkapnya.
“Sehingga menurut aturan perundang-undangan, rumah golongan 3 bisa dialihkan dan bisa menjadi hak milik warga. Untuk tanahnya, karena tanah negara dan menguasai lebih dari 20 tahun. Faktanya warga sudah 40-60 tahun. Itu diutamakan (diprioritaskan) untuk memiliki hak,” sambungnya.
Jarot juga menambahkan, berdasarkan Keppres nomor 32 tahun 1979 Pasal 5. Lokasi lahan tanah yang diklaim milik warga. Kini bukan lagi sebagai perumahan, tapi beralih menjadi perkampungan.
“Listrik masyarakat yang bikin (menyambungkan), saluran PDAM (air bersih) yang memfasilitasi masyarakat. Artinya ini sudah bentuk perkampungan, bukan perumahan lagi. Sehingga menurut Keppres diutamakan, masyarakat yang mendapat hak,” tandasnya.
“Perlu diketahui, untuk yang menempati rumah ini ada 170 keluarga (bukan 150), tidak hanya hanya 34. Tapi 34 itu mewakili dari 170 orang. Jadi kalau dikatakan 34 (melakukan protes), itu hanya wakil. Sebelumnya 37, tapi keluar satu, dan 2 meninggal. Makanya jadi 34 itu. Tapi itu juga mewakili setiap gang. Bisa jadi (yang menempati rumah) ada 200 orang, dan ingat sudah perkampungan,” imbuhnya.
Sebelumnya diberitakan, soal sengketa lahan rumah dinas di wilayah Jalan Mawar, Kelurahan Jember Lor, Kecamatan Patrang, Jember. Sesuai dengan dasar bukti yang dimiliki oleh PT. Kereta Api Indonesia, ditegaskan untuk tetap dilindungi sebagai aset miliknya.
PT. KAI Daop 9 Jember menegaskan, sesuai dengan hasil gugatan yang dijalani lewat jalur Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) bahkan sampai Mahkamah Agung (MA).
Kurang lebih 150 rumah dinas yang ada di wilayah Jalan Mawar tersebut. Secara hukum adalah merupakan aset dari PT.KAI.
Vice President PT KAI Daop 9 Jember Broer Rizal saat dikonfirmasi sejumlah wartawan, menyampaikan jika aset rumah dinas di wilayah Jalan Mawar. Merupakan aset non railway PT. KAI.
Aset non railway itu, kata Broer, diantaranya adalah tanah, rumah perusahaan, dan bangunan dinas.