Ekonomi

Bulan Maulid Industi Layah Tanah Liat di Mojokerto, Bergeliat

MOJOKERTO, FaktualNews.co – Salah satu perkampungan di Mojokerto menjadi sentra industri kreatif pembuatan layah. Yakni, Desa Mlaten, Kecamatan Puri, Kabupaten Mojokerto.

Nama lain dari layah adalah cobek. Orang Jawa bisa menyebutnya layah. Layah merupakan salah satu alat masak tradisional terbuat dari tanah liat yang hingga sekarang masih banyak dijumpai dan digunakan oleh rumah tangga sebagai alat untuk mengulek sambal maupun bumbu dapur.

Meskipun dapur pada zaman sekarang sudah modern, tetapi alat ini masih tetap digunakan. Apalagi bagi warga di pedesaan, jelas alat ini selalu hadir dalam kegiatan memasak sehari-hari.

Di desa tersebut, banyak dijumpai aktifitas warga yang tengah sibuk membuat cobek dari tanah liat. Desa ini memang terkenal sebagai sentra pembuatan alat dapur yang terbuat dari tanah liat itu.

Seperti yang dilakukan di rumah khusnul Janiyah. Perempuan berusia 36 tahun ini sudah menekuni usaha pembuatan layah sejak 15 tahun yang lalu bersama suaminya.

Disisi barat rumahnya, nampak sejumlah pekerja berkutat dengan tanah liat. Dua orang laki-laki dan satu perempuan. Dua laki-laki itu mengolah sekepal tanah yang diletakkan di mesin pres pencetak layah.

Sedangkan seorang perempuan, melumuri layah yang sudah melalui proses pengeringan dan pembakaran dengan perwarna khusus.

Bahan baku layah berupa tanah liat, Janiyah membeli dari beberapa pengepul tanah yang ada di sekitar desanya. Sebelum dicetak mejadi layah, tanah liat terlebih dahulu direndam dengan air selama tiga hari. Jika ingin kualitas tanahnya padat, Janiyah mencampurinya dengan pasir.

“Dibacem (direndam dengan air)selama tiga hari, tidak dicampuri apa-apa, kalau ingin keras ya diberi pasir,” katanya saat ditemui di tempat produksi layah miliknya, Jumat (7/10/2022).

Setelah itu, tanah liat diselep dan dibuat sepeti adonan berbentuk kotak-kotak. Barulah adonan tanah liat siap untuk dicetak.

Adonan dicetak menggunakan mesin pres, ukuran layahnya pun bervariasi, paling kecil berdiameter 17 sentimeter (cm) dan paling besar berdiameter 35 cm. Kemudian, dikeringkan dibawah terik matahari.

Janiayah menjelaskan, lama proses pengeringan tergantung cuaca. Jika cuaca normal hanya membutuhkan waktu dua hari agar benar-benar kering. “kalau musim hujan bisa sampai satu minggu,” ujarnya.

Proses selanjutnya adalah proses pembakaran. Pembakarannya menggunakan cars tradisional. Layah-layah yang sudah kering dimasukkan ke dalam tungku, lalu tungku dibakar menggunakan kayu. Satu kali pembakaran, bisa 500 sampai 700 layah.

“Pembakaran normal sekitar 4 jam  itu kalau kayunya dan tungkunya kering. Kalau basah dan hujan ya bisa lebih dari itu (4 jam),” ungkap Janiyah.

Dalam satu hari, produksi layah Juniyah mampu menghasilkan hingga ratusan layah berbagai ukuran. Layah-layah itu dikirim ke sejumlah pasar langganannya. Dalam satu minggu, mengirim dua kali. Satu kali pengiriman 1000 layah.

Satu layah itu dijual dengan harga yang bervariatif, mulai Rp 2 ribu hingga Rp 9 ribu. “Harga satu layah tergantung ukurannya,” tandasnya.

Omzet yang didapatkan dalam satu kali pengiriman bisa mencapai Rp 3 juta. Namun, jumlah itu tidak dinikmati sendiri. Nantinya akan dibagi bersama tiga orang karyawannya.

Janiyah menambahakan, terdapat momen-momen tertentu penjualan layah meningkat. Seperti momen peringatan hari lahir Nabi Muhammad atau yang kerep disebut bulan maulid. Mengingat, pads saat bulan maulud banyak tradisi masyarakat yang kegiatanya menggunakan layah.

“Satu bulan sebelum bulan maulid itu suda rame (penjualan layah). Kebanyakan yang pesan itu daerah Probolinggo, Situbondo, karena disana tradisinya masih menggunakan layah,” pungkasnya.