Peristiwa

IKM Briket Arang di Mojokerto Tembus Empat Benua

Omzet Ratusan Juta Rupiah Per Bulan

MOJOKERTO, FaktualNews.co – Industri Kecil Menengah (IKM) milik Eka Meidayanti (40), saat ini sukses menjadi eksportir briket arang ke negara Eropa dan Timur Tengah. Setiap bulan, ia mampu mengirim puluhan ton briket arang.

Perjalanan warga Desa Mlirip, Kecamatan Jetis, Kabupaten Mojokerto ini tidaklah mudah. Ia mulai menekuni usaha itu sejak tahun 2012. Ide usaha briket arang bermula setelah dirinya berkunjung ke kantor salah satu eksportir arang di Surabaya.

Saat berkunjung, ia melihat etalase kantor orang asli Korea itu terdapat produk arang. Dari situ ia mendapat penjelasan jika produk arang tersebut digunakan bahan bakar di Korea. Hingga akhirnya, ia menawarkan diri untuk menjadi suplyer briket.

“Awalnya saya berkunjung ke salah satu eksportir arang di Surabaya, orang Korea. Di kantornya, ada etalase produknya arang dan dijelaskan jika itu untuk bahan bakar di Korea. Saya langsung menawarkan diri sebagai suplayer, langsung ditanggapi,” ungkapnya, Minggu (23/10/2022).

Dari situlah kemudian Eka mulai merintis bisnis arang briket berbahan batok kelapa dengan modal Rp 50 juta. Kala itu ia sebatas sebagai pedagang, yaitu membeli arang dari produsen lokal untuk diekspor menggunakan merek pedagang asing. Skala penjualannya pun masih satu mobil pikap per bulan. Briket tersebut diekspor ke Eropa dan Amerika.

Menginjak 2018, ibu 4 anak ini mulai berkecimpung dengan produksi arang briket kelapa. Ketika itu ia membantu pengelolaan industri kecil arang milik temannya di Trowulan, Kabupaten Mojokerto. Karena produk arang temannya itu kerap dikomplain pembeli sebab kualitasnya kurang bagus.

Bisnis bersama itu terpaksa tutup karena Trowulan merupakan kawasan cagar budaya peringkat nasional. Hal itu tak membuatnya menyerah begitu saja. Eka lantas melanjutkan sendiri bisnis arang briket kelapa di Dusun Gedeg Lor, Desa/Kecamatan Gedeg, Kabupaten Mojokerto pada tahun 2019.

Ia mendirikan 2 perusahaan sekaligus. PT Energi Natural Indonesia di Desa Gedeg untuk mengolah batok kelapa yang sudah dibakar sampai menjadi briket. Sedangkan CV Hindianindo di Desa Mlirip, Jetis, Kabupaten Mojokerto untuk memasarkan produk dan membakar batok kelapa.

“Waktu itu ekspornya masih 2 kontainer sekitar 50 ton per bulan,” kata Eka.

Arang briket kelapa buatan Eka selama ini diekspor ke banyak negara. Ia justru belum pernah memasarkan arang itu di tanah air. Ekspornya sampai ke Turki, Belanda, Rusia, Inggris, Yunani, Jerman, Arab Saudi, Uni Emirat Arab (UEA), Yordania, Amerika Serikat dan Australia.

Namun, arang briket kelapa buatannya selama ini diekspor menggunakan merek perusahaan dagang dari negara lain. Misalnya merek Hookah Nara dari Jebel Ali, Dubai, UEA, Deluxe dari Irak dan Royal dari Dammam, Arab Saudi. Mulai tahun ini, Eka secara perlahan mulai melepaskan diri dari penjajahan pedagang asing.

“Selama ini Indonesia dijajah secara ekonomi. Hasil produksi kita, tapi diakui oleh mereka. Maka dari itu saya ingin kita tidak lagi dijajah ekonominya, kita harus merdeka,” ujarnya.

Menurut ibu empat anak ini, arang briket kelapa mempunyai pasar yang sangat besar di luar negeri. Di kawasan Timur Tengah misalnya, arang ini lebih banyak digunakan untuk barbeku, membakar pengharum ruangan alami atau buhur, serta pemanas rokok shisha.

Saat ini, eka dibantu 18 karyawan produksi arang briket di CV Hindianindo, Desa Mlirip. Di tempat inilah batok kelapa dibersihkan dari serabutnya, lalu dibakar selama 2 hari sampai menjadi arang. Selanjutnya hasil pembakaran dikirim ke PT Energi Natural Indonesia di Desa Gedeg untuk diolah.

Batok kelapa selama ini ia beli dari para pedagang di pasar-pasar tradisional Kabupaten Mojokerto seharga Rp 900 per Kg. Ia juga membeli tempurung kelapa dengan harga yang sama dari para penyuplai pabrik santan, serta dari pabrik makanan.

“Harapan saya Perhutani juga menanam kelapa dengan teknologi baru agar cepat panen. Karena kebutuhan kelapa yang sangat besar,” cetusnya.

Sampai di PT Energi Natural Indonesia, arang batok kelapa digiling menjadi serbuk. Selanjutnya serbuk arang dimasukkan ke mesin mixer untuk dicampur dengan air dan tepung tapioka sebagai perekat. Adonan lebih dulu dimasukkan ke mesin blender sampai menjadi pulen. Barulah adonan hitam pekat itu dicetak menggunakan mesin sehingga menjadi potongan kecil-kecil berbentuk kubus.

Khusus arang briket yang akan diekspor ke Turki, setiap potongan arang berbentuk kubus dengan ukuran masing-masing sisinya 2,5 cm. IKM ini juga membuat arang briket berukuran 2,2 cm, 2,3 cm, 2,6 cm sampai 2,8 cm.

Arang briket lebih dulu disortir sebelum dioven. Lamanya mengoven tergantung pada ukuran briket.

Produk berukuran 2,5 cm misalnya membutuhkan waktu 12 jam sampai mencapai suhu kematangan 80-90 derajat Celcius. Setiap tahapan tentu saja dikontrol secara ketat untuk menghasilkan produk kualitas premium sampai super premium. Terakhir, arang briket kelapa dikemas dengan boks 1 Kg. Boks kecil kemudian dikemas lagi dengan dus 10 Kg. Kapasitas produksi maksimal IKM ini mencapai 6 ton arang briket per hari.

Eka mencertikan di masa pendemi Covid-19 sempat mengelami kerterpurakan selama 2 tahun. Saat itu kapasitas ekspornya anjlok dari 50 ton per bulan menjadi hanya 50 ton tiap 4 bulan sekali.

“Karena ketika itu biaya pelayarannya lebih mahal daripada arangnya. Sehingga buyer tak kuat beli. Waktu itu mau kirim ke Jerman shiping cost mencapai Rp 300 juta. Akhirnya mereka beli ke Afrika Utara,” jelasnya.

Saat ini meski biaya pelayaran masih tinggi, tambah Eka kapasitas ekspor produk arang briket mengalami kenaikan. Seperti biaya pelayaran ke Pelabuhan Dammam, Arab Saudi yang melonjak dari USD 13.000 kini menjadi USD 4.500 – 5.000.

“Sekarang ekspor sudah naik menjadi 3 kontainer atau 75 ton per bulan. Omzet saat ini di angka Rp 500 – 600 juta per bulan,” pungkas Executive Director PT Energi Natural Indonesia.