JEMBER, FaktualNews.co – Selama kurun waktu dua minggu terakhir, kedelai impor mengalami kenaikan harga. Bahkan kenaikannya menurut pengusaha/pengrajin tempe dan tahu di Jember, terjadi sejak pemerintah menaikkan harga BBM.
Terkait kondisi tersebut, menurut salah seorang pengrajin/pengusaha tempe dan tahu di Jember Ahmad Miftahul Arifin. Pihaknya mensiasati tempe dan tahu agar masih bisa mendapatkan keuntungan.
“Dulu di tahun sebelum (pandemi) Covid, harga kedelai impor itu disekitaran Rp 6.800 per kg. Tapi karena pandemi itu sempat naik di harga Rp 10 ribu. Kemudian mulai agak normal (kembali turun harga),” kata Arifin saat dikonfirmasi di Jember, Selasa (1/10/2022).
“Tapi kemudian dengan adanya kenaikan harga BBM, terutama dua minggu terakhir ini. Melonjak di harga Rp 14 ribu, yang sebelumnya Rp 13.850 per kg,” sambungnya.
Untuk harga bahan baku kedelai import itu, lanjut Arifin, dinilai meresahkan. Terlebih lagi, katanya, kenaikan harga kedelai impor terjadi dalam hitungan hari.
“Kondisi sekarang pun masih terus naik per harinya. Jadi hal ini meresahkan di level pengecer kecil,” katanya.
Sebagai langkah antisipasi dan solusi dengan kenaikan harga bahan baku tahu tempe berupa kedelai impor itu, katanya, para pengusaha/pengrajin tempe dan tahu melakukan siasat tertentu.
“Dengan kondisi kenaikan harga kedelai impor ini. Memang tidak serta merta harga tempe atau tahu (ikut) melonjak harganya. Jadi yang bisa dilakukan adalah mensiasati. Ya mengurangi ukuran itu sebagai penyesuaian, atau juga satu timba kedelai itu kita kurangi takarannya,” ungkap Arifin.
Terkait mensiasati hal ini, diakui Arifin, sebagai salah satu solusi untuk menyesuaikan usaha di bidang tempe dan tahu.
Lebih lanjut Arifin juga mengatakan, terkait kebutuhan kedelai impor. Ada beberapa alasan yang disampaikan.
“Kenapa kami ambil kedelai impor? Pertama untuk kedelai lokal kan jarang. Dari informasi yang saya tahu, terkait kebutuhan kedelai impor ini di Indonesia kan sampai 3000 ton dari Amerika. Sedangkan petani kita (Indonesia) hanya mampu 300 ton. Jadi kebutuhan kurang,” ujarnya.
Alasan berikutnya, kata Arifin, juga soal kualitas dari bahan baku kedelai itu.
“Kami (pengusaha/pengrajin tempe dan tahu) tidak ambil kedelai lokal. Sebenarnya untuk rasa dan kualitas (kedelai lokal) lebih enak daripada impor. Tapi kekurangannya, ketahanan dari tempe/tahu jadi kurang. Kalah dengan impor. Jadi terpaksa pengusaha atau pengrajin seperti saya ambilnya kedelai impor itu,” sambungnya.
Dengan kondisi itupun, lebih jauh Arifin menyampaikan, pihaknya memiliki harapan agar ada perhatian pemerintah terkait kebutuhan kedelai ini.
“Misal dengan kondisi saat ini, kita menaikkan harga tempe atau tahu. Untuk di Jember juga susah. Karena kita tidak ada paguyuban antar pedagang. Beda dengan di daerah barat. Jadi jika mogok produksi, bisa kemudian dipertimbangkan kenaikan harga,” ulasnya.
“Untuk menormalkan kembali harga kedelai ini mungkin susah. Jadi yang bisa dilakukan, menurut saya mungkin bisa dengan koordinasi antar pengrajin/pengusaha kedelai di bawah Disperidag mungkin. Untuk sama-sama nanti kita bisa bicarakan pertimbangan menaikkan harga jual tempe/tahu. Apakah dibentuk komunitas/paguyuban, untuk dapatnya berkoordinasi jika ada permasalahan dan bisa mengambil sikap seperti apa,” sambungnya.
Namun demikian, Arifin menambahkan, hal yang berbeda dirasakan pengusaha/pengrajin tahu. Dimana untuk hasil produksi tahu masih bisa mendapat keuntungan tambahan.
“Tapi ya gitu, terkait kondisi kenaikan bahan baku kedelai impor ini. Istilahnya kita makan ampas. Kita ambil laba dari tahu (contohnya) sedikit, tapi ampas tahu nya kan bisa dijual. Itu baru yang kita bisa dapat ambil hasil (keuntungan),” pungkasnya.