Kenapa Menguasai dan Memperbaiki PSSI tidak Mudah?
FaktualNews.co – Narasi perbaikan PSSI selalu menggema setiap ada kongres pemilihan, tetapi begitu usai kontestasi yang terpilih mereka-mereka lagi.
Dua Kongres Luar Biasa (KLB) PSSI pada November 2016 dan 2019 yang agendanya adalah pemilihan, bisa menjadi cerminan. Pada 2019 ada 10 calon ketua umum yang maju.
Mereka itu adalah Arief Putra Wicaksono, Aven Hinelo, Benhard Limbong, Benny Erwin, Fary Demy Francis, Mochamad Iriawan, Rahim Soekasah, Sarman, Vijaya Fitriyasa, dan Yesayas.
Hasilnya Iriawan terpilih dengan suara mutlak. Iwan adalah wajah baru di PSSI. Jika mengacu rekam jejak, namanya tidak pernah masuk dalam kepengurusan PSSI sebelumnya.
Mundur ke belakang, tepatnya kongres pemilihan pada November 2016, juga muncul sosok-sosok baru. Ketika itu ada sembilan calon yang mendaftar dan dinyatakan lolos.
Kesembilan kandidat tersebut adalah Djohar Arifin Husin, Sarman, Tony Apriliani, Moeldoko, Eddy Rumpoko, Kurniawan Dwi Yulianto, Erwin Aksa, Edy Rahmayadi, dan Bernhard Limbong.
Hasilnya Edy terpilih dengan suara mayoritas. Sama seperti Iriawan, Edy adalah sosok baru di tubuh PSSI. Bahkan muncul harapan sosok TNI ini bisa membuat PSSI jadi bermartabat.
Nyatanya, dua sosok baru tersebut tak membuat PSSI jadi disegani. Sorotan negatif tetap mengiringi. Dinamika organisasi PSSI pun dianggap tak kunjung membaik dalam sejumlah hal.
Analisisnya, kinerja tak optimal PSSI ini karena anggota Komite Eksekutif (Exco) diisi wajah-wajah lama. Namun perlu digaris bawahi bahwa istilah wajah lama ini tak sepenuhnya benar.
Untuk Exco PSSI periode 2019-2023 misalnya, hanya lima yang menjadi Exco pada edisi 2016-2020, yaitu Iwan Budianto, Yoyok Sukawi, Dirk Soplanit, Pieter Tanuri, dan Yunus Nusi.
Namun tak bisa dimungkiri bahwa sebagian besar di antaranya adalah orang-orang yang sudah manggung sejak dualisme federasi pada 2011, seperti Haruna Soemitro dan Endri Erawan.
Jika mengacu media sosial, ada lima sosok yang dianggap layak menggantikan Mochamad Iriawan sebagai Ketua Umum PSSI saat KLB nanti.
Kelima sosok tersebut adalah Erick Thohir, Achsanul Qosasi, Ratu Tisha Destria, Luhut Binsar Pandjaitan, dan Hary Tanoesoedibjo. Mereka ini diglorifikasi netizen atau warganet.
Adakah kans mereka ini menggantikan Iwan Bule? Peluang tentu saja ada, tetapi realitanya tidak demikian. Menguasai PSSI tidak semudah membentuk koloni opini di media sosial.
Secara garis besar ada tiga kerajaan suara PSSI. Pertama Asprov PSSI (34 suara), klub Liga 1 dan Liga 2 (34 suara), dan Liga 3 bersama asosiasi lain (19 suara).
Biasanya calon Ketua Umum PSSI akan menjalin relasi ke Asprov terlebih dahulu. Menguasai Asprov sama dengan menguasai separuh kuasa federasi. Suara mereka bisa paketan.
Dengan demikian tinggal membuat kesepakatan dengan 10 klub, baik Liga 1, Liga 2, atau Liga 3. Dengan mengumpulkan 44 suara, seorang calon sudah pasti terpilih sebagai ketua umum.
Fakta lainnya, pemilik suara PSSI nyaris tak berubah dalam satu dekade terakhir. Penguasa klub, dari Liga 1 hingga Liga 3, masih sama dan perubahannya tak sampai 20 persen.
Suara Asprov tak jauh berbeda. Kiranya lebih dari 80 persen adalah orang-orang yang sudah berkecimpung di sepak bola nasional dalam 10 tahun terakhir atau lebih.
Selanjutnya, saat kongres pemilihan, sosok yang dianggap punya integritas tak jaminan dipilih. Biasanya sebelum kongres pemilihan sudah ada koalisi untuk posisi ketua, wakil, dan Exco.
Kurniawan Dwi Yulianto misalnya adalah primadona media sosial dalam kongres 2016. Nyatanya mantan striker Timnas Indonesia itu tak dipilih satu pun voters PSSI saat kongres.