JAKARTA, FaktualNews.co – Belakangan ini Pemutusan hubungan kerja (PHK) banyak terjadi di pabrik sepatu dan tekstil dalam negeri. Hal ini terjadi akibat perlambatan ekonomi dan lonjakan inflasi di negara tujuan ekspor.
Perlambatan ekonomi memang terjadi di sejumlah negara maju, seperti Amerika Serikat, Eropa, dan China. Hal ini tercermin dari Purchasing Managers’ Index (PMI). Penundaan dan pembatalan ekspor pun dilaporkan terus terjadi, bahkan sudah ada yang mengalami pembatalan sampai 50%.
“PMI Manufaktur global bulan September 2022 yang masuk kontraksi 49,8,” sebut Ketua Komite Stabilitas Sistem Keuangan, Sri Mulyani dalam konferensi pers, dikutip Minggu (6/11/2022).
Dijelaskan bahwa perlambatan ekonomi negara maju dipengaruhi oleh geopolitik dan perang di kawasan Ukraina yang memicu tekanan inflasi yang tinggi. Selain itu, kenaikan suku bunga Amerika Serikat (AS) diperkirakan lebih tinggi dengan siklus lebih panjang.
Dalam kesempatan yang sama, Sri Mulyani juga mengomentari persoalan PHK yang terjadi di sejumlah pabrik tekstil hingga alas kaki. Disebutkan, pemerintah akan terus memonitor fenomena yang terjadi.
“Dalam hal ini, terlihat ekspor produk tekstil, rajutan dan non rajutan, maupun alas kaki masih cukup tinggi. Kita akan terus mendorong termasuk menggunakan instrumen, seperti special mission vehicle, LPEI untuk diversifikasi destinasi ekspor,” kata Sri Mulyani.
Direktur Eksekutif Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo), Firman Bakri mengungkapkan, sejak Juli 2022 industri sepatu di Tanah Air terus mengalami penurunan order ekspor. Hanya saja, akibat pendataan yang terlambat dari realisasi pengiriman, hingga Agustus 2022, ekspor sepatu Indonesia terlihat masih tumbuh signifikan.
Akibatnya, PHK yang sudah terjadi pun menjadi tak terdeteksi. “Tanpa dukungan pemerintah, PHK mungkin akan semakin massif mulai akhir tahun ini sampai tahun depan. Data yang kami rekap, sudah ada 22.500-an buruh pabrik alas kaki yang sudah di-PHK,” kata Sabtu (5/11/2022).
Dia menambahkan, PHK awalnya dimulai dengan merumahkan karyawan, tidak memperpanjang kontrak buruh, hingga tak lagi bekerja. “Intinya mereka sudah tak terima gaji lagi. Ada yang tadinya kontrak nggak diperpanjang. Di industri kami sebagian besar sifatnya PHK,” kata Firman.
Dia menuturkan, meski ada pandemi Covid-19, industri sepatu nasional masih bisa cetak pertumbuhan ekspor. Menurut Firman, pada 2020, nilai ekspor masih tumbuh 8,9%, lalu pada 2021 bahkan melonjak 32,5%. Sedangkan pada 2022, per Agustus masih tumbuh 36%.
“Sebenarnya kami sudah melaporkan ini, kemudian baru-baru inilah jadi ramai (publikasi laporan PHK). Ada yang tadinya masih kerja normal, mulai November-Desember nanti sudah mulai kehabisan order. Dan, belum ada masuk lagi,” jelas Firman.
“Cuma memang belum terpantau pemerintah karena data BPS masih menunjukkan ekspor alas kaki sampai Agustus 2022 itu tumbuh 36%,” tambahnya.
Tekanan ekonomi dan lonjakan inflasi di negara-negara tujuan ekspor, seperti AS dan negara Uni Eropa (UE) menyebabkan konsumen lebih mengutamakan belanja energi maupun bahan makanan.
“Akibatnya, stok di sana masih banyak dan mereka belum bisa terima barang dari kita. Kondisi ini sudah dialami beberapa pabrik alas kaki sejak awal semester-II, bulan Juli 2022,” ujar Firman.
Dia mengaku tidak bisa memprediksi sampai kapan dan besar dampak yang ditimbulkan ketidakpastian global dan perlambatan ekonomi di sejumlah negara tujuan ekspor.
“Kami mengkhawatirkan order akan terus turun 50% sampai semester pertama tahun depan. Kita enggak bisa tahu apakah kondisi ini akan berakhir di akhir tahun 2022 ini,” kata dia.
Firman berkata, industri alas kaki di Tanah Air meminta pemerintah pusat mengizinkan pabrikan memangkas jam kerja.
“Kami mengajukan ada fleksibilitas mengurangi jam kerja. Dari tadinya 40 jam seminggu jadi 30 jam sebagai batas bawah. Ini bisa mengurangi beban perusahaan, tapi tetap bisa membayar karyawan, dan bisa menekan laju PHK,” jelas Firman.
“Kami membutuhkan ada payung hukum untuk fleksibilitas jam kerja itu. Kalau tidak, nanti kami jadinya tidak akan mendapatkan order ekspor. Karena dianggap melakukan pelanggaran. Karena itu, kami harus izin. Nggak bisa langsung asal pangkas jam kerja,” pungkas Firman.
Juru Bicara Perkumpulan Pengusaha Produk Tekstil Provinsi Jawa Barat (PPTPJB). Sariat Arifia mengungkapkan bahwa mulai ada penurunan kapasitas produksi dan berimbas pada pemangkasan karyawan.
“Dari segi jumlah tenaga kerja, walau pabrik masih buka. Namun, kapasitas karyawan sudah di bawah 50% masa-masa sebelumnya,” kata Sariat.
Selain menurunkan kapasitas produksi, sejumlah perusahaan yang tidak mampu lagi bertahan juga sudah menutup operasional, artinya tutup pabrik. Data PPTPJB mencatat setidaknya ada 18 pabrik garmen yang sudah tutup di Jawa Barat.
“Sebelum kejadian ini, penutupan di Jawa Barat wilayah Bogor dan Purwakarta sudah terjadi. Peristiwa resesi Eropa, Amerika hanya memperburuk keadaan. Untuk wilayah Bogor saja, sudah berkurang kurang lebih 50%. Di Purwakarta lebih kurang sama,” ujarnya.
Kondisi ini tidak lepas dari dampak turunnya order ekspor bagi industri garmen di kawasan berikat. Juga, pabrik yang berlokasi di kawasan yang upah minimum kabupatennya sudah terlalu tinggi seperti Bogor dan Purwakarta.
“Maka selain terjadinya PHK, lonceng kematian pabriknya juga paling terdepan dan terdekat, disusul kemudian di barisan industri garmen lainnya. Hal ini disebabkan mereka kehilangan pangsa pasar dan juga daya kompetisi,” ujar Sariat.
Nasib serupa melanda sektor TPT nasional. Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Jemmy Kartiwa Sastraatmadja mengungkapkan, perlambatan global berimbas ke industri TPT di dalam negeri. “Sudah banyak anggota API yang melakukan pengurangan waktu kerja. Dari tujuh hari setiap minggu menjadi lima hari dalam seminggunya,” kata Jemmy.
“Logistik sudah tidak semahal dulu. Sekarang masalahnya order atau permintaan menurun akibat pelemahan global. Ukraina-Rusia memperparah keadaan global,” tambahnya.
Sementara itu, Sekjen Asosiasi Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI), Redma Gita Wirawasta mengungkapkan, jumlah karyawan yang dirumahkan terus bertambah. “Perumahan karyawan dan PHK masih terus bertambah. Per hari Selasa (2/11/2022) sekitar 78.000 orang. Pengurangan order juga masih terus,” kata Redma.
Pabrik-pabrik yang melakukan efisiensi itu, kata dia, tersebar di Jawa Barat dan Jawa Tengah.
Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Jawa Barat mengungkapkan, jumlah buruh atau pekerja yang di-PHK bisa saja melampaui data yang terlaporkan saat ini.
Pasalnya, hingga saat ini meski sudah ada kewajiban disertai sanksi, belum semua perusahaan melaporkan perubahan internal yang terjadi, termasuk menyangkut tenaga kerja ke Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker). Lalu, belum semua pengusaha di sektor formal mendaftarkan pekerjanya sebagai peserta BPJS Ketenagakerjaan.
Mengutip dari catatan Disnakertrans Jawa Barat, per September 2022, ada 4.155 buruh yang sudah di-PHK. Data itu dikutip dari penyelesaian perselisihan hubungan industrial (HI) menurut Dinas Provinsi dan Kabupaten/ Kota di Jawa Barat.
Namun, Better Work Indonesia ILO (BWI-ILO), lembaga nirlaba kerja sama Organisasi Buruh PBB ILO) melaporkan, sudah ada 47.539 karyawan di Jawa Barat yang di-PHK dan dilaporkan berpotensi di-PHK.
Sementara itu, Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) melaporkan sudah ada 73.644 orang pekerja di Jawa Barat yang di-PHK.
“Karena itu kami menganalogikan gelombang PHK di Jawa Barat ini ibarat fenomena gunung es. Kami mengompilasikan data dari penyelesaian kasus HI, BWI-ILO, dan Apindo,” kata Analis Kebijakan Disnakertrans Jawa Barat, Firman Desa.
“Tidak semua industri di Jawa Barat di bawah binaan BWI, enggak semua masuk Apindo. Kemudian kita bandingkan dengan klaim Jaminan Hari Tua (JHT) BPJS Ketenagakerjaan. Di mana, salah satu syarat klaim adalah berhenti bekerja, baik itu mengundurkan diri maupun PHK,” jelasnya.
Dari data BPJS Ketenagakerjaan, ujarnya, ada 409.462 kasus klaim sepanjang Januari-September 2022 dengan jumlah dibayarkan mencapai Rp4,319 triliun.
“Memang kita masih menunggu data dari BPJS, untuk data klaim apakah PHK atau mengundurkan diri. Yang jelas, katakanlah ada 400-an klaim, sekitar 300-an itu karena berhenti bekerja. Ini yang kita sebut fenomena gunung es,” kata Firman.
Sementara itu, per 25 Agustus 2022, baru ada 3.033.273 tenaga kerja aktif penerima upah yang menjadi peserta BPJS Ketenagakerjaan Jawa Barat, padahal ada 8.370.354 orang di Jawa Barat yang terdata sebagai pekerja penerima upah.
“Padahal, sudah jelas ada kewajiban lapor, wajib mendaftarkan pekerja jadi peserta BPJS. Bahkan sudah jelas ada sanksinya. Karena itu kita tidak tahu seberapa besar PHK yang terjadi. Ada hidden data, data yang gelap kita nggak tahu pasti,” katanya.
“Data PHK ini memang debatable, tapi ini hasil yang kita kumpulkan. Kita bahkan sudah door to door. PHK massal ini memang terjadi, sudah banyak melakukan efisiensi karyawan,” tambah Firman.
Firman mencontohkan, salah satu pabrik tekstil di Jawa Barat, yang ternyata sudah melakukan PHK 3.000 karyawan.
“Kita cari tahu, kita tanya ke Apindo Sukabumi, tapi mereka tidak tahu karena tidak masuk dalam asosiasi,” pungkas Firman.