JAKARTA, FaktualNews.co – Hingga awal November 2022, terdapat 195 anak meninggal dunia akibat gagal ginjal akut. Sebagai informasi, cemaran zat etilen glikol (EG) dalam obat sirup diduga kuat menjadi penyebab kasus gagal ginjal akut yang menewaskan ratusan anak di Tanah Air.
Pemerintah pun telah menarik puluhan obat sirup yang diduga tercemar kandungan EG dan dietilen glikol (DEG) di luar ambang batas yang diproduksi oleh PT Afi Farma, PT Yarindo Farmatama, dan PT Universal Pharmaceutical Industries.
Sementara itu, pihak kepolisian juga tengah mendalami dan mencari pihak yang bertanggung jawab yang menyebabkan adanya cemaran kandungan berbahaya dalam obat sirup sehingga ratusan anak menderita gagal ginjal akut.
Bahan baku dioplos
Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri mengungkapkan bahwa salah satu pemasok bahan baku obat sirup ternyata mengoplos zat cemaran EG dalam pelarut tambahannya.
Hal itu terungkap dalam penyelidikan yang dilakukan oleh Bareskrim Polri terhadap CV Chemical Samudera yang merupakan salah satu pemasok bahan pelarut untuk obat.
“Diduga pelaku menggunakan drum atau tong berlabel Dow palsu atau bekas. Kemudian, melakukan peracikan, penambahan atau oplos zat cemaran EG, terdapat bahan yang diorder PT AF (Afi Farma) sehingga diduga kandungan cemaran diatas ambang batas,” ujar Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karo Penmas) Divisi Humas Polri Brigjen Ahmad Ramadhan dalam keterangannya, Jumat (11/11/2022).
Ramadhan mengatakan, penyidik menemukan barang bukti di lokasi CV CS, yakni propylene glycol (PG) dan etilen glikol di dalam drum atau tong putih bertuliskan label palsu DOW atau The Dow Chemical Company. Penyidik menduga itu merupakan bahan baku tambahan yang dipesan oleh PT Afi Farma (AF) selaku produsen obat sirup.
“Ada di TKP (tempat kejadian perkara), yaitu PG dan EG yang berada di dalam drum atau tong putih bertuliskan label DOW, diduga merupakan bahan baku tambahan yang diorder PT AF melalui PT TBK dan PT APG,” kata Ramadhan.
Ramadhan mengatakan, penyidik akan memanggil dan memeriksa sejumlah orang yang terkait untuk diperiksa. Salah satu yang akan diperiksa adalah pemilik CV Chemical Samudera yang berinisial E.
“Rencana tidak lanjutnya akan melakukan pemanggilan terhadap saudara E selaku pemilik CV SC, saudara T anak dari E, dan saksi saksi RT dan RW,” katanya.
Selain itu, penyidik juga menunggu hasil uji laboratorium dari sampel bahan baku obat yang diduga tercemar tersebut. Menurut Ramadhan, Bareskrim juga akan mendalami asalah usul pembelian terkait bahan baku yang tercemar tersebut.
“Melakukan BAP tambahan pada PT APG dan PT TBK, mencari dokumen terkait pembelian bahan baku tambahan PG dari PT AF, PT TBK dan PT APG, melakukan pemeriksaan terhadap saksi, ahli korporasi, ahli farmasi dan ahli Labfor,” ujarnya.
Dalam temuan dari penyelidikan terungkap ada permainan distributor bahan kimia yang memasok bahan kimia untuk industri umum kepada pelaku industri farmasi untuk pembuatan obat sirup. Padahal EG dan DEG adalah zat kimia berbahaya yang tidak boleh digunakan dalam obat sirup.
Namun, cemarannya dimungkinkan ada dari beberapa zat pelarut tambahan termasuk propilen glikol dengan ambang batas aman 0,1 miligram/mililiter. Bahan-bahan kimia EG dan DEG itu diduga dijual ke industri farmasi dengan alasan harga yang lebih murah ketimbang pelarut khusus obat sirup. Namun, ternyata hal itu berakibat fatal.
Sejumlah obat sirup yang tercemar kedua senyawa kimia itu diduga menjadi salah satu faktor penyebab merebaknya kasus gagal ginjal yang merenggut nyawa lebih dari 300 anak-anak di Indonesia.
BPOM tak bisa awasi
Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) memaparkan sejumlah alasan mengapa mereka tidak bisa mengawasi peredaran bahan baku pelarut untuk standar industri yang malah digunakan sebagai bahan baku obat. Ketua BPOM Penny K Lukito menyatakan mereka hanya mengawasi dan memeriksa bahan baku dalam kategori pharmaceutical grade atau khusus farmasi untuk pelarut obat sirup.
“Bahan baku yang digunakan sebagai produksi untuk industri farmasi (obat) itu seharusnya pharmaceutical grade. Nah, tapi dalam hal ini pharmaceutical grade-lah yang harus mendapatkan SKI (Surat Keterangan Impor) dari BPOM, sehingga BPOM bisa melakukan pengawasan di awal,” kata Penny dalam rapat dengan Komisi IX DPR pada 4 November 2022 lalu.
Maka dari itu, kata Penny, BPOM tidak mengawasi impor dan peredaran EG dan DEG karena penggunaannya sebenarnya untuk industri di luar farmasi. Di sisi lain, Kementerian Perdagangan (Kemendag) menyatakan tidak mengatur pembatasan impor senyawa propilen glikol (PG) dan polietilen glikol (PEG).
Penny mengatakan, BPOM tidak bisa bertanggung jawab atas pengawasan peredaran dan penggunaan senyawa kimia EG dan DEG yang ternyata digunakan sebagai bahan baku pelarut obat sirup oleh beberapa pelaku industri farmasi. Menurut Penny, seharusnya bahan baku untuk produksi obat sirup harus didapatkan dari Pedagang Besar Farmasi (PBF) yang memenuhi ketentuan Cara Distribusi Obat yang Baik (CDOB).
Dia mengatakan, bahan baku oplosan ini merupakan perbuatan ilegal di luar pengawasan BPOM. Kemudian, menurutnya, bukan tanggung jawab BPOM melakukan pengawasan karena industri tersebut tidak pernah mendapat izin terkait pemenuhan CDOB.
“Bukan tanggung jawab BPOM untuk melakukan pengawasan. Kalau ini dalam pengawasan BPOM, ini enggak akan pernah beri izin karena ini tidak memenuhi cara distribusi obat yang baik (CDOB),” kata Penny dalam konferensi pers di Tapos, Depok, Rabu (9/11/2022).
“Tentunya, kalau diawasi BPOM, proses-proses pengoplosan dan ini pasti sudah ketahuan jauh-jauh (hari), dulu ya,” ujarnya lagi.
Dibantah Menkes
Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin mengatakan bahwa pengawasan bahan obat-obatan bukan berada di Kementerian Kesehatan (Kemenkes) tetapi seluruhnya berada di BPOM.
Hal itu disampaikan Menkes menanggapi adanya perusahaan obat PT Yarindo Farmatama yang mengaku menjadi korban penipuan oleh perusahaan kimia biasa, CV Samudra Chemical. CV Samudra Chemical merupakan pemasok bahan baku obat sirup yang setelah diteliti mengandung EG dan DEG.
“Kalau obat itu (pengawasannya) ada di BPOM,” ujar Budi Gunadi saat ditemui di Hotel Sultan Jakarta, Jumat (11/11/2022).
Budi Gunadi bahkan kembali menegaskan pengawasan obat maupun bahan baku obat seluruhnya merupakan kewenangan dari Badan POM. Oleh karena itu, menurutnya, permasalah dugaan penipuan pasokan bahan baku obat bukan merupakan wewenang Kemenkes.
“He’eh, itu wewenangnya ada di BPOM,” kata Budi Gunadi.