FaktualNews.co

Demi Reformasi TNI, Gus Dur Angkat KSAL Widodo AS Jadi Panglima

Nasional     Dibaca : 788 kali Penulis:
Demi Reformasi TNI, Gus Dur Angkat KSAL Widodo AS Jadi Panglima
FaktualNews.co/Istimewa.
Abdurrahman Wahid (Gus Dur).

JAKARTA, FaktualNews.co – Surat Presiden (Surpres) Joko Widodo (Jokowi) yang berisi nama calon Panglima TNI buat menggantikan Jenderal Andika Perkasa bakal pensiun pada Desember 2022 mendatang akan dikirim ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) hari ini setelah pekan lalu tertunda.

Panglima TNI, Jenderal Andika Perkasa memasuki masa pensiun 21 Desember 2022 nanti.

Seiring dengan masa pensiun Andika Perkasa, sosok pengganti Panglima TNI pun terus mengemuka.

Nama Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL), Laksamana Yudo Margono disebut-sebut akan menjadi calon Panglima TNI menggantikan Andika.

Presiden Joko Widodo disebut telah memutuskan dengan menunjuk Yudo menjadi Panglima TNI berikutnya.

Seperti dilansir dari Kompas.id, Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Pratikno membenarkan bahwa Presiden mencalonkan Yudo Margono yang notabene dari matra laut.

“Pak Yudo,” kata Pratikno pada Rabu (23/11/2022).

Terobosan Gus Dur

Calon Panglima TNI selalu menjadi perhatian masyarakat. Sebab sejak era reformasi pemilihan Panglima TNI disyaratkan menerapkan prinsip rotasi.

Hal itu tercantum dalam Pasal 13 ayat 4 Undang-Undang 34/2004 tentang TNI yang menyatakan, “Jabatan Panglima sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dijabat secara bergantian oleh Perwira Tinggi aktif dari tiap-tiap Angkatan yang sedang atau pernah menjabat sebagai Kepala Staf Angkatan.”

Kebijakan itu diterapkan sebagai wujud prinsip kesetaraan terhadap ketiga matra TNI.

Sebab pada masa Orde Baru, posisi Panglima TNI, atau Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) pada saat itu, selalu diisi oleh perwira Angkatan Darat.

Pada saat itu, jabatan Panglima TNI selalu diisi oleh jenderal yang menjabat Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) dan dipromosikan sebagai Panglima ABRI.

Perubahan itu dimulai pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur pada 1999.

Saat itu Gus Dur memutuskan mengangkat Laksamana Widodo Adi Sutjipto atau Widodo AS dari Angkatan Laut menggantikan Jenderal Wiranto.

Pada masa kepemimpinan Wiranto terjadi peristiwa penembakan Trisakti yang menewaskan 4 mahasiswa hingga berujung pada kerusuhan Mei 1998, bersamaan dengan gerakan reformasi.

Keputusan Gus Dur melakukan reformasi TNI karena pada saat itu citra militer sedang terpuruk akibat terseret pergulatan politik dalam negeri.

Langkah yang diambil Gus Dur mencopot Wiranto dan mengangkat Widodo AS sebagai panglima menjadi terobosan karena situasi politik pascareformasi masih bergejolak.

Selain itu, melalui kebijakan itu Gus Dur menginginkan kesetaraan perlakuan terhadap ketiga matra TNI, yakni AD, AL, dan AU. Hal itu dilakukan supaya tidak terjadi lagi sikap diskriminatif antarmatra supaya agenda reformasi TNI berjalan optimal.

Sebab pada masa pemerintahan Presiden Soeharto, ABRI kerap digunakan buat menjaga kekuasaan dan sebagai perpanjangan tangan mewujudkan kebijakan pemerintah.

Pada masa pemerintahan Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie, Widodo AS menjabat sebagai wakil panglima.

Pengangkatan Widodo AS sebagai panglima juga tercatat sebagai sejarah karena menjadi perwira TNI AL pertama yang menduduki posisi itu.

Sejak era reformasi, baru terdapat dua perwira TNI AL yang menduduki posisi panglima. Mereka adalah Widodo AS (1999-2002) dan Laksamana Agus Suhartono (2010-2013).

Hal itu juga menjadi titik mula reformasi militer di Indonesia dengan agenda penghapusan dwifungsi dan membangun tentara yang profesional mengawal pertahanan dan ancaman dari luar.

Di masa kepemimpinan Widodo AS juga terjadi pemisahan TNI dan Polri, yang ditandai dengan penetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (Tap MPR) Nomor VI/MPR/2000, dan Tap MPR Nomor VII/MPR/2000 tentang Peran TNI dan Polri.

Perubahan yang terjadi pada era reformasi adalah mekanisme pemilihan panglima tidak lagi sepenuhnya menjadi hak presiden, tetapi juga harus mendapatkan persetujuan dari DPR.

Mekanisme itu diterapkan sebagai wujud prinsip keterbukaan eksekutif kepada legislatif yang mewakili rakyat.

Jika DPR tidak menyetujui calon panglima yang diajukan Presiden, maka mereka harus menyampaikan alasan secara tertulis. Setelah itu, Presiden harus mengajukan calon lain kepada DPR.

Dalam proses di DPR, calon Panglima TNI harus melakukan uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) mulai dari urusan administratif hingga penyampaian visi dan misi.

Baca berita menarik lainnya hasil liputan
Editor
Nurul Yaqin
Sumber
kompas.com