SURABAYA, FaktualNews.co – Nikah siri merupakan nikah yang tidak dicatatkan secara resmi, dalam hal ini di Kantor Urusan Agama (KUA). Sehingga, tidak mempunyai kekuatan hukum, terlebih pada ibu dan anaknya.
Melansir situs resmi Kementerian Agama (Kemenag) Kalimantan Selatan, nikah harus berada di bawah pengawasan PPN/Kepala KUA atau penghulu yang diangkat Kemenag.
Pernikahan siri atau pernikahan tanpa melibatkan pencatatan hukum dinyatakan sebagai pelanggaran hukum.
Sebab hal itu dinilai melanggar Undang-Undang (UU) Nomor 22 Tahun 1946, yang menyatakan bahwa setiap pernikahan harus diawasi pegawai pencatat pernikahan, dan itu diserta sanksi berupa denda dan kurungan badan.
Alasan nikah siri
Mengutip laman resmi Binmas Islam Kemenag, terdapat beberapa alasan pasangan memilih pernikahan siri, antara lain:
Dari pihak orang tua, pernikahan ini dimaksudkan untuk adanya ikatan resmi dan menghindari perbuatan yang melanggar ajaran agama seperti zina.
Selain itu, ada juga yang terhalang karena pihak perempuan secara legal formal masih terikat hubungan dengan laki-laki lain, semisal beranggapan bahwa perempuan tersebut telah janda secara hukum agama, tetapi belum mengurus perceraian di pengadilan.
UU Perkawinan
Dalam Pasal 1 UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 disebutkan bahwa perkawinan merupakan ikatan lahir dan batin antara seorang pria dengan seorang wanita untuk membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Adapun sahnya perkawinan tertulis dalam Pasal 2 Ayat (1), yang berbunyi sebagai berikut:
“Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”
Sehingga sepanjang pernikahan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan agama yang dianutnya, maka pernikahan tersebut dianggap sah secara hukum, baik pernikahan tersebut dilaksanakan dihadapan petugas yang ditunjuk oleh undang undang maupun tidak (siri atau di bawah tangan).
Namun yang menjadi persoalan, terkait pembuktian adanya pernikahan tersebut, yang menurut aturan perundangan hanya dapat dibuktikan dengan Kutipan Akta Nikah, yang diterbitkan oleh Pegawai Pencatat Nikah atau Kutipan Akta Perkawinan oleh catatan sipil.
Sehingga, saat sebuah pernikahan tidak dilaksanakan dihadapan petugas yang ditunjuk, maka akan kesulitan terhadap pembuktian pernikahannya, sebab tidak tercatat pada institusi yang berwenang, sebagaimana diatur dalam Pasal 2 Ayat (2) UU Nomor 1 Tahun 1974.
“Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan UU yang berlaku”.
Dampak nikah siri
Mengutip Jurnal Sosiologi yang ditulis oleh Sri Hilmi Pujihartati dari FISIP Universitas Sebelas Maret (UNS), secara hukum positif, nikah siri tidak lengkapnya suatu perbuatan hukum karena tak tercatat secara resmi dalam catatan pemerintahan.
Anak yang lahir dari pernikahan siri dianggap tidak dapat dilegalisasi oleh negara melalui akte kelahiran.
Setiap warga negara Indonesia yang melakukan pernikahan harus mendaftarkan pernikahannya ke KUA atau Kantor Catatan Sipil untuk mendapatkan surat atau akta nikah.
Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan akta nikah yang dibuat oleh pegawai pencatat nikah.
Dampak hukum yang timbul dari sebuah pernikahan siri terjadi jika ada perceraian, yakni istri sulit mendapatkan hak atas harta bersama, apabila suami tak memberikannya.
Selain itu, jika ada warisan yang ditinggalkan suami karena meninggal dunia, istri dan anak sangat sulit mendapatkan hak dari harta warisan.
Jika seorang suami berprofesi sebagai PNS, istri maupun anak tidak berhak mendapatkan tunjangan apapun.
Dampak positif dan negatif
Sementara itu, dalam tulisan Pujihartati juga menyebtukan secara umum beberapa dampak positif dari nikah siri yang dilaksanakan dengan tujuan yang baik antara lain:
Sedangkan dampak negatifnya meliputi:
Pernikahan sah
Pernikahan bagi umat Islam sah apabila telah terpenuhi rukun dan syarat pernikahan secara agama sebagaimana diatur dalam fikih munakahat.
Dalam praktik yang terjadi di tengah masyarakat, rukun perkawinan itu ada lima, yaitu:
Apabila kelima rukun ini ada dan masing-masing rukun itu sudah memenuhi persyaratannya, maka perkawinan tersebut telah sah menurut hukum agama.
Berdasarkan ketentuan pasal 2 Ayat (1) UU Perkawinan, juga harus dianggap sah menurut hukum negara.
Tetapi, agar perkawinan ini mendapat pengakuan resmi dari negara, maka pernikahan itu harus dicatat menurut peraturan perundangan-undangan yang berlaku.
Bagi umat Islam, instansi yang berwenang melakukan pencatatan pernikahan adalah Pegawai Pencatat Nikah pada KUA Kecamatan, baik pencatatan melalui pengawasan saat terjadinya pernikahan maupun berdasarkan penetapan pengadilan bagi yang pernikahnnya tidak dilaksanakan di bawah pengawasan pejabat yang ditunjuk.
Nah, itulah pengertian, alasan, dan hukum pernikahan siri di Indonesia.